Pajak Rokok, Pengertian, Tarif, dan Mekanisme Alokasinya
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) menetapkan estimasi penerimaan pajak rokok setiap provinsi untuk tahun anggaran 2024 sebesar Rp 22,81 triliun. Perkiraan ini ditetapkan melalui Keputusan Dirjen Perimbangan Keuangan Nomor KEP-58/PK/2023.
Provinsi yang diperkirakan menerima setoran pajak rokok terbesar tahun depan adalah Jawa Barat, yakni sebesar Rp 4,05 triliun. Urutan kedua ditempati Jawa Timur, dengan estimasi Rp 3,38 triliun. Urutan ketiga dan keempat ditempati Jawa Tengah dan Sumatera Utara, dengan estimasi penerimaan masing-masing Rp 3,1 triliun dan Rp 1,25 triliun.
Berikut ini ulasan mengenai pengertian pajak rokok, beserta dasar hukum penerapan, tarif, dan mekanisme alokasinya.
Pengertian Pajak Rokok
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.07/2013, pengertian pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang berwenang bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Jenis rokok yang menjadi objek pajak dari aturan ini, adalah sebagai berikut:
- Sigaret: Hasil tembakau yang dibuat dari tembankau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek mesin dan tangan, sigaret putih mesin, serta sigaret kelembak kemenyan.
- Cerutu: Hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
- Rokok Daun: Hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa megindahkan bahan pengganti.
Namun, ada satu jenis yang dikecualikan dari objek pajak rokok, yaitu rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Rokok yang dimaksud, adalah rokok yang dilinting sendiri, atau ang kerap disebut rokok linthing dhewe (tingwe). Ini merupakan rokok yang diracik dan dilinting sendiri oleh konsumen.
Rokok tingwe dikecualikan dari objek pajak rokok, dengan catatan rokok tersebut hanya menjadi konsumsi pribadi, tidak diberi merek, tidak dikemas, dan tidak untuk dijual. Ini karena tembakau rajah yang menjadi bahan baku rokok tingwe memiliki karakter yang sama dengan tembakau iris, yang dikenakan cukai.
Mengutip paparan Kementerian Keuangan tentang pengelolaan bagi hasil pajak rokok, jenis pajak ini diterapkan dengan berlandaskan pada pertimbangan membatasi konsumsi rokok dan peredaran rokok ilegal. Lalu, untuk melindungi masyarakat atas dampak negatif rokok dan meningkatkan pendanaan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat, serta meningkatkan pendapatan asli daerah atau PAD.
Dasar Hukum Penerapan Pajak Rokok
Pajak rokok memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pelaksanaannya diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Adapun, aturan teknisnya adalah PMK 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok, yang telah diubah dengan PMK 41/PMK.07/2016 dan terakhir melalui PMK 11/PMK.07/2017.
Sementara, untuk mekanisme pemotongan dan penyetoran pajak rokok diatur melalui PMK 128/PMK.07/2018 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok sebagai Kontribusi Dukungan Program Jaminan Kesehatan.
Kemudian, pedoman teknis penggunaan dana yang terkumpul, menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 40 tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Tarif, dan Mekanisme Alokasi Pajak Rokok
Besaran pajak rokok dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebesar 10% dengan dasar pengenaan pajak atau DPP, yakni cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok. Secara matematis, rumus penghitungan pajak rokok adalah 10% x Cukai Rokok.
Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok, diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional. Ini dimaksudkan agar terdapat kesimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok, dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah.
Pajak rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah, kemudian disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Rumusnya, Proporsi Jumlah Penduduk Provinsi x Total Realisasi Penerimaan Pajak Rokok. Besaran proporsi jumlah penduduk provinsi didapatkan dengan membandingkan jumlah penduduk di sutau provinsi, dengan jumlah penduduk nasional.
Untuk alokasinya, diatur dalam Pasal 100 Ayat (1) Perpres 82/2018, yang menyebutkan bahwa sebanyak 37,5% dari realisasi penerimaan pajak rokok menjadi bagian masing masing daerah provinsi/kabupaten/kota. Kontribusi sebagaimana yang dimaksud, langsung dipotong untuk dipindahbukukan ke dalam rekening BPJS Kesehatan.
Mekanismenya, daerah merencanakan dan menganggarkan kontribusi sebesar 37,5% penerimaan pajak rokok. Kemudian, rencana dan anggaran kontribusi tersebut dituangkan dalam berita acara kesepakatan, yang ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk, dengan pejabat BPJS setempat.
Pemerintah Provinsi mengkompilasi berita acara kesepakatan terkait rencana dan anggaran kontribusi pajak rokok dari daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota di wilayahnya, untuk disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).
Demikianlah ulasan mengenai pajak rokok, terkait dengan pengertian, dasar hukum yang melandasi penerapan, serta tarif dan alokasi penerimaannya.