Menyusuri Bisnis dan Kekayaan Induk SPBU Vivo, Vitol Grup

Amelia Yesidora
6 September 2022, 17:02
Vivo
Anggita Amalia|Katadata

Sejak Taylor mengambil alih tampuk kekuasaan, ia membuat peraturan baru di mana jumlah saham yang dipegang investor tidak boleh lebih dari 5 %. Dalam catatan Bloomberg, kebijakan tersebut membentuk budaya kebersamaan, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa memiliki kekuatan lebih besar dari pihak lainnya. 

Melansir laman resmi Vitol, kini perusahaan memiliki kapasitas penyulingan sebanyak 500 ribu barel per hari. Penyulingan minyak mentah ini dilakukan oleh enam kilang milik anak perusahaan Vitol yang tersebar di Eropa, Timur Tengah, hingga Eropa.

Tahun lalu, perusahaan ini mencatatkan pendapatan sebesar US$ 279 miliar dengan menjual 7,6 juta barel minyak mentah dan produk lain setiap harinya. Laba kotor perusahaan pun meningkat dari US$ 1 miliar menjadi US$ 6 miliar pada 2021. Angka ini diungkap Reuters berdasarkan laporan sumber yang melihat laporan laba rugi perusahaan. 

Dengan keberhasilan tersebut, Vitol memecahkan rekor pendapatan bersih 2020 sebesar US$ 3 miliar. Kala itu perusahaan mengambil keuntungan dari panic selling dengan menjual minyak di pasar berjangka. Adapun perusahaan ini memperoleh minyak mentah dari produsen yang tersebar di Amerika, Asia, Eropa, hingga Timur Tengah.

Vitol sendiri bukanlah perusahaan yang banyak disorot oleh media dan masih bersifat swasta. Namun bila perusahaan ini bersifat publik, kekayaannya akan berada di peringat 7 perusahaan Fortune 500. Angka ini berada tepat di bawah Exxon Mobil, Berkshire Hathaway, dan induk Google, Alphabet. 

Melalui anak usahanya di berbagai belahan dunia, kini Vitol telah memiliki 6.800 titik ritel dan 40 kantor perwakilan. Di Indonesia, Vivo memiliki total 18 SPBU yang tersebar di tiga provinsi, 11 SPBU di DKI Jakarta, 4 SPBU di Jawa Barat, dan 3 SPBU di Banten. Setelah Premium dihapuskan, saat ini Vivo hanya menjual Revvo 89 (setara RON 89), Revvo 92, dan Revvo 95.

Profil CEO Vitol Energy

Jabatan tertinggi di perusahaan ini berada di tangan Russell Hardy, alumni Magister Teknik Kimia dari Imperial College, London. Melansir laman resmi Vitol, lelaki berkebangsaan Inggris ini dari awal telah memilih perusahaan bahan bakar minyak untuk bekerja, yakni di BP. Ia lalu bergabung di Vitol pada 1993 dan bertanggungjawab dalam bidang perdagangan serta manajemen perusahaan di Singapura dan London. 

Kariernya di Vitol terus menanjak hingga pada 2007 Hardy duduk sebagai komite eksekutif serta menjadi CEO kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika di tahun yang sama. Dengan pengalaman selama 30 tahun di industri bahan bakar minyak, Hardy pun diangkat menjadi CEO Vitol pada 15 Maret 2018 lalu, menggantikan Ian Roper Taylor.

Di sisi lain, Taylor adalah alumni dari jurusan Filsafat, Politik dan Ekonomi Merton College, Oxford, pada 1978. Ia memulai kariernya di Shell kawasan Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Setelah itu, ia bergabung dengan Vitol pada 1985 hingga didapuk menjadi CEO satu dekade kemudian. 

Pada kepemimpinannya, dia berhasil mengubah Vitol sebagai perusahaan minyak swasta terbesar di dunia. Menurut catatan Bloomberg, Vitol berhasil meningkatkan nilai ekuitasnya hingga 3.500 % dari US$ 278 juta pada 1996, tumbuh mendekati US$ 10 miliar pada 2015.

Namun pada akhir masa jabatannya, Taylor didiagnosa mengidap kanker sehingga menyerahkan jabatannya pada Russell Hardy. Taylor meninggal di usia 64 tahun, pada Juni 2020 silam.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...