Polemik Proyek Food Estate yang Disinggung saat Debat Pilpres 2024

Image title
22 Januari 2024, 13:32
food estate
ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.
Ilustrasi, foto udara areal lumbung pangan nasional 'food estate' Dadahup di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021).

BPK juga mencatat potensi permasalahan kelebihan lahan pada pengembangan kawasan food estate di Kalimantan Tengah yang dikelola Ditjen Prasarana dan Saran Pertanian tahun 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kelebihan luas lahan tersebut di 19 kelompok tani dengan total 370,99 hektare atau setara dengan bantuan sarana dan produksi senilai Rp 1,5 miliar.

INFOGRAFIK - Polemik Proyek Food Estate
INFOGRAFIK - Polemik Proyek Food Estate (Katadata/Amosella)

2. Tudingan Kerusakan Lingkungan, Konflik Agraria, dan Pengabaian Hak Pangan

Selain soal pengelolaan anggaran, proyek food estate juga dituding menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, menimbulkan konflik agraria, serta mengabaikan hak atas nutrisi dan pangan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat.

  • Kerusakan Lingkungan dan Ancaman Konflik Agraria

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) misalnya, menyebutkan food estate komoditas singkong dari luasan area of interest (AoI) tahap pertama seluas 32.000 hektare berdampak pada kerusakan lingkungan. Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengatakan, pembukaan kawasan hutan seluas kurang lebih 600 hektare menyebabkan banjir yang berimbas ke desa-desa terdekat.

Tak hanya kerusakan lingkungan di Kalimantan, Walhi juga menyebut food estate juga menimbulkan konflik agraria, seperti yang terjadi di NTT. Di provinsi ini, kawasan proyek bersinggungan dengan hutan adat Pandumaan Sipituhuta seluas kurang lebih 2.042 hektare. Selain itu, subjek produsen pangan proyek ini di NTT juga bukan petani kecil.

Potensi konflik agraria juga diungkapkan oleh Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia. Seperti yang terjadi Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, di mana kebun yang sebelumnya ditanami karet dan sawit tiba-tiba digusur dan berubah menjadi sawah.

Atau seperti yang terjadi di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, di mana sebagian hutan "hilang" dan berubah menjadi lahan untuk food estate komoditas singkong.

Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional. Kini, lahan yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh masyarakat setempat, diganti menjadi lahan food estate yang justru mangkrak.

"Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan, sekarang seperti lapangan. Siapa yang tidak marah? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur," kata Rangkap, salah satu warga Desa Tawai Baru, dikutip dari BBC Indonesia.

Proyek singkong yang mangkrak tersebut, kini diganti komoditas jagung. Walhi menyebut, proyek food estate kebun jagung senilai Rp 54 miliar tersebut dipaksakan demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong yang mangkrak

  • Pengabaian Hak Pangan dan Nutrisi Masyarakat Setempat

Selain kerusakan lingkungan, proyek food estate juga mendapatkan sorotan terkait keberadaannya yang mengabaikan hak pangan warga tempat proyek tersebut dilaksanakan.

Menurut laporan FIAN Indonesia berjudul 'Memantau Hak Atas Pangan dan Gizi: Seputar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah', proyek ini merupakan solusi yang hanya berbasis pasar untuk kepentingan korporasi dan sekadar mencari produktivitas satu komoditas saja.

"Proyek food estate mencabut sistem pangan lokal yang ada di masyarakat, dan mengubahnya dengan sistem pangan global untuk menjawab keinginan pasar," kata Anggota staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia Gusti NA Shabia, dikutip dari Kompas.id.

REHABILITASI JARINGAN IRIGASI FOOD ESTATE DI KALTENG
Food Estate (ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.)

Menurut laporan FIAN, sistem pangan lokal sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Kebiasaan masyarakat berladang, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, sudah sangat beragam dengan kekayaan nutrisi dan gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi.

Berbagai kajian yang telah dilakukan juga mendukung laporan FIAN ini. Misalnya, kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics pada 2016, menyebutkan tanaman kelakai, yang merupakan salah satu komoditas pangan masyarakat Dayak, mengandung zat besi atau Fe (41,53 ppm) dan beta karoten (66,99 ppm).

Ladang-ladang yang sebelumnya ditanami komoditas pangan lokal tersebut, kini berubah menjadi sawah-sawah karena proyek food estate. Mengutip Kompas.id, setidaknya 16.000 hektare ladang masyarakat dikonversi menjadi sawah untuk ditanami padi, yang benihnya diberikan oleh pemerintah.

"Masyarakat memiliki sistem pangan yang sangat beragam, tetapi melalui food estate disederhanakan dengan sistem monokultur, karena tujuannya meningkatkan produktivitas, bukan pemenuhan hak atas gizi dan nutrisi," kata Shabia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...