Menilik Jalan Panjang DJP, Sang Pengisi Pundi Negara
Tanggal 14 Juli merupakan tanggal yang tergolong istimewa dalam sejarah perekonomian Indonesia. Pasalnya, tanggal ini merupakan peringatan Hari Pajak, hari di mana perpajakan masuk dalam dasar negara.
Memang, peringatan Hari Pajak baru dimulai pada 2017. Namun, peringatan ini bertumpu pada suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya pajak bagi negara.
Dalam sidang panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Radjiman Wedyodiningrat, seorang dokter dan ketua badan tersebut mengusulkan, bahwa pemungutan pajak harus diatur hukum.
Usulan tersebut diterima oleh seluruh anggota BPUKI, dan akhirnya muncul dalam draf kedua Undang-undang Dasar (UUD), yang disampaikan pada 14 Juli 1945. Ini terlihat dalam Pasal 23A Bab VII Hal Keuangan, yang menyebutkan "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, organisasi Kementerian Keuangan langsung dibentuk. Dalam kementerian ini, urusan pajak ditangani oleh Pejabatan Pajak, yang kini menjadi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
DJP memiliki tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Sepanjang sejarahnya, DJP memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa. Selama bertahun-tahun, direktorat di Kementerian Keuangan ini berperan sebagai tulang punggung negara.
Penyusunan Organisasi Perpajakan
Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2021, pajak termasuk bidang yang pertama dilembagakan dalam organisasi Kementerian Keuangan. Pada September 1945, organisasi Kementerian Keuangan disusun, dan terdiri dari lima pejabatan, salah satunya adalah Pejabatan Pajak.
Pejabatan Pajak ini membawahi tiga urusan, yakni perpajakan, bea dan cukai, serta pajak bumi. Ketika pemerintahan hijrah ke Yogyakarta, pejabatan-pejabatan di bawah Kementerian Keuangan ikut pindah. Pejabatan Pajak ditempatkan di Magelang, Jawa Tengah.
Kendati dalam situasi perang, pembenahan tetap dilakukan. Pada 1 Oktober 1946, struktur organisasi Kementerian Keuangan dirombak. Urusan bea dan cukai, serta pajak bumi dilepaskan dari Pejabatan Pajak, dan menjadi dua pejabatan tersendiri. Dalam permulaan periode ini tugas Departemen Keuangan utamanya berkisar pada penyempurnaan pemungutan pajak dan pencetakan uang sendiri.
Segera setelah terbentuk, Pejabatan Pajak mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk memastikan pundi-pundi negara yang masih muda ini terisi.
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan Pejabatan Pajak pada masa awal kemerdekaan antara lain, pajak potong hewan, pajak radio, pajak pendapatan, hingga “pajak pembangunan” yang dipungut dari rumah makan dan penginapan. Seiring waktu, beberapa kebijakan ini terus disempurnakan sesuai kondisi, dan kebutuhan demi terisinya kas negara.
Dari sisi organisasi, urusan perpajakan di Kementerian Keuangan terus mengalami perubahan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1948, nomenklatur pejabatan diubah menjadi jawatan. Saat itu, Kementerian Keuangan memiliki delapan jawatan, di antaranya Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, dan Jawatan Pajak Bumi.
Menyusul pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, kerja Kementerian Keuangan kian berat. Kekurangan tenaga ahli dan didorong oleh efisiensi, mendorong Kementerian Keuangan mengangkat tiga pejabat tinggi.
Tiga pejabat tersebut, antara lain yakni Sekretaris Jenderal, yang menangani urusan umum dan kepegawaian. Kemudian, Thesaurier Jenderal yang mengurus pengeluaran dan anggaran belanja negara. Terakhir, Direktur Jenderal Iuran Negara, yang bertugas mengkoordinasi jawatan-jawatan yang mengurus pendapatan negara.
Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, dan Jawatan Pajak Bumi kemudian ditempatkan di bawah Direktur Jenderal Iuran Negara. Hal ini dilakukan agar memudahkan penerimaan negara.
Namun, hingga pertengahan dekade 1950-an, pendapatan dari pajak, bea cukai, dan pajak bumi belum maksimal. Apalagi pos-pos anggaran tersedot untuk menumpas pergolakan-pergolakan di daerah.
Pendapatan negara juga berkurang karena terjadinya barter, dan penyelundupan di daerah, sehingga menyebabkan defisit negara yang besar. Hal ini juga menyebabkan Jawatan Pajak ditarik langsung di bawah koordinasi Menteri Keuangan.
Lalu, pajak bumi sempat dihapus karena desakan politik. Seiring pemberlakuan pajak hasil bumi pada 1959, dibentuk Jawatan Pajak Hasil Bumi di bawah Departemen Iuran Negara. Sementara, Jawatan Pajak serta Bea Cukai pun ditempatkan di bawah Departemen Iuran Negara.
Kemudian, pada 1964 dibentuk Kompartemen Keuangan. Jawatan Pajak berubah menjadi Direktorat Pajak yang berada di bawah Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara.
Setahun kemudian Direktorat Pajak Hasil Bumi berubah menjadi Direktorat Ipeda di bawah Menteri Iuran Negara. Keduanya kemudian menjadi instansi vertikal Departemen Keuangan pada periode 1966-1967. Pada 1976, Direktorat Ipeda, dan unit-unit pelaksana di daerah bergabung menjadi bagian dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Organisasi DJP terbagi atas kantor pusat dan kantor operasional. Kantor pusat terdiri atas sekretariat DJP dan direktorat. Dalam perkembangannya pada setiap pemerintahan dan pergantian Menteri Keuangan, DJP mengalami reorganisasi. Upaya ini terus dilakukan karena kebutuhan tugas berat dan tak mudah yang diemban yaitu menambah anggaran negara melalui sektor pajak.
Melawan Stigma Kolonial
Pada masa-masa awal kemerdekaan, DJP yang kala itu bernama Pejabatan Pajak, menghadapi situasi yang sulit. Tak hanya soal penyusunan kebijakan perpajakan, namun juga melawan stigma pajak yang sudah sedemikian buruk di mata masyarakat.
Ekonom M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya bertajuk "Evolusi Struktur Pajak dan Proses Demokratisasi" menyebut, bahwa pajak dalam sejarah Indonesia merupakan stigma masa kolonial.
Bahkan, saat itu muncul kata-kata "Apa gunanya kita merdeka kalau masih disuruh bayar belasting?". Kata belasting yang dimaksud, adalah pajak.
Kata-kata ini mengandung makna yang dalam. Sebab, pajak dicitrakan sebagai ciri penjajahan, dan merdeka berarti bebas dari pajak. Akibat adanya stigma tersebut, pemerintah cenderung berhati-hati dalam mengambil kebijakan keuangan.
Untuk membiayai perjuangan dan pemerintahan, pemerintah mendapatkan dana dengan cara mencetak uang, menjual candu dan emas ke luar negeri. Lalu, menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk program pinjaman nasional, dan sumbangan seperti fonds kemerdekaan.
Meski demikian, otoritas pajak Republik Indonesia (RI) tetap berupaya melakukan penetapan dan pemungutan semua pajak, kecuali pajak bumi dan bea cukai.
Pajak yang dipungut antara lain, pajak pendapatan, upah, kekayaan, rumah tangga, perseroan, pajak "untung perang", verponding, kupon, potong, pembangunan, radio, bea balik nama, bea warisan, dan bea materai.
Setelah pengakuan kedaulatan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), aparatur pajak dari pemerintahan federal bentukan Belanda digabungkan ke dalam aparatur RI. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah, penyeragaman peraturan pajak, dan menghentikan pemungutan pajak yang dualistis.
Demi menambah penerimaan negara, sempat diberlakukan pajak baru, yakni pajak peredaran untuk barang dagangan yang berpindah tangan. Pajak ini mulai berlaku 1 Januari 1951, namun mendapat kecaman keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kecaman dilontarkan DPR, karena mengakibatkan kenaikan harga barang.
Atas tekanan DPR, pemberlakuan pajak peredaran dibatasi dan pada 1 Oktober 1951 diganti oleh pajak penjualan. Pada tahun yang sama, pajak bumi yang dikenakan pada petani pemilik tanah menghadapi apa yang dikenal dengan 'Mosi Tauchid' dan akhirnya dihapuskan.
Meski demikian, ada beberapa kebijakan pajak yang merupakan peninggalan era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Beberapa pajak tetap dikenakan berdasarkan peraturan zaman kolonial. Pajak warisan zaman kolonial tetap dipungut, namun pada tingkat yang tidak membangkitkan trauma dan antipati masyarakat.
Kesulitan juga dialami, terkait dengan tidak adanya Anggaran Belanja Negara yang disahkan sebelum tahun yang bersangkutan. Pemerintah kesulitan mengajukan rancangan UU perpajakan kepada DPR, jika tidak diketahui untuk apa pungutan itu diperlukan. Untuk menyiasatinya dikeluarkan UU darurat.
Mengutip buku "20 Tahun Indonesia Merdeka", selama 1950-1954 dikeluarkan 59 UU darurat di bidang keuangan dengan 37 di antaranya mengenai perpajakan. Selain itu, untuk menghindari kesulitan yuridis dan keberatan DPR, pemerintah melakukan beberapa pungutan yang tidak memerlukan pengesahan UU.
Contohnya, tambahan pembayaran impor yang diberi bentuk sebagai multiple exchange rate, yaitu nilai penukaran yang banyak tingkat terhadap uang asing, tergantung daripada pemakaian uang asing tersebut.
Namun, upaya menambah penerimaan negara ini terkendala struktur ekonomi Indonesia saat itu, yang masih bergantung pada volume impor dan ekspor. Dawam menuliskan, upaya menggantungkan diri pada sektor perdagangan internasional sangat riskan, karena sangat sensitif terhadap fluktuasi pasar dunia.
Oleh karena itu, jika pada periode 1956-1959 hanya ada tambahan pajak penduduk bangsa asing, setelah itu banyak jenis pajak diperkenalkan. Misalnya, pajak bea balik nama kendaraan bermotor, pajak deviden, sumbangan wajib istimewa kendaraan bermotor, dan sumbangan wajib istimewa bangunan.
Menyusul peraturan mengenai pajak hasil bumi, pemerintah mulai menggiatkan pajak atas tanah. Untuk mensosialisasikannya, pemerintah mengirim regu pionir ke tiap daerah. Sebagai tindak lanjut, kantor-kantor perwakilan pajak hasil bumi didirikan dan disusul dengan kantor-kantor dinas.
Upaya-upaya tersebut menuai hasil. Pada 1959 pemasukan dari pajak mencapai Rp 7,28 miliar. Lima tahun kemudian meningkat jadi Rp 105,11 miliar. Dari pencapaian ini, pajak pendapatan dan perseroan menjadi penyumbang terbesar.
Peninjauan Sistem Perpajakan
Selain mengintensifkan pajak dan perbaikan organisasi, pemerintah meninjau sistem perpajakan. Beberapa kali pemerintah membentuk panitia untuk merumuskannya.
Konferensi dinas untuk menghadapi persoalan-persoalan darurat yang perlu dipecahkan, juga berulang kali dilakukan. Namun, mengubah sistem perpajakan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Setelah konferensi dinas 1957, dibentuk Panitia Organisasi Direktorat Pajak. Panitia ini bertugas memikirkan usul-usul perbaikan aparatur pajak.
Panitia inilah yang merumuskan Tridarma Pajak. Pertama, pemungutan pajak meliputi semua wajib pajak. Kedua, berdasarkan objek yang semestinya. Ketiga, pemungutan pajak diakukan tepat waktu, baik penetapan maupun pembayarannya.
Demi keperluan penetapan pajak, terbit Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 23 tahun 1960, yang mengatur ketentuan tentang rahasia bank.
Perppu tersebut, mengatur pengecualian, bahwa demi keperluan penetapan pajak, bank diwajibkan memberikan keterangan kepada pejabat dari Jawatan Pajak. Pejabat tersebut harus mendapat surat izin khusus dari Menteri Keuangan yang memuat nama wajib pajak.
Saat itu, pengenaan pajak masih menggunakan official assessment, yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh aparatur pajak. Wajib pajak bersifat pasif, dan utang pajak akan timbul ketika surat ketetapan pajak dikeluarkan. Sistem ini diterapkan hingga dekade 1980-an.
Saat itu pengumpulan pajak dari masyarakat masih jauh di bawah target. Bahkan, kebanyakan masyarakat justru sama sekali tidak membayar pajak.
Menyikapi hal tersebut, Menteri Keuangan Radius Prawiro yang juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak, mengambil prakarsa melakukan reformasi perpajakan. Dari reformasi tersebut, muncul beberapa regulasi baru perpajakan, yakni UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Untuk menerapkan paket UU perpajakan baru ini, pemerintah meluncurkan kebijakan pengampunan pajak pada April 1984. Sayangnya, program ini kurang mendapat respons dari wajib pajak.
Reformasi pajak saat itu masih terbatas pada aspek administrasi. Namun, sistem perpajakan baru memang mendesak diterapkan, kendati terbatas.
Sebelumnya, sistem perpajakan mengenal 48 tarif pajak perorangan, dan sepuluh tarif pajak bagi badan hukum. Regulasinya juga terlalu banyak dan terkadang saling bertentangan.
"Sistem ini sama sekali tidak dapat dipakai untuk praktik-praktik akuntansi modern," ujar Radius Prawiro dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi.
UU KUP memberi peluang bagi upaya penciptaan golongan pembayar pajak, kendati dalam pelaksanaannya lebih mengesankan untuk memperluas basis wajib pajak. Namun, dengan dijalankannya kebijaksanaan pembaruan perpajakan, kesadaran masyarakat akan pajak justru akan meningkat.
Reformasi pajak 1983 mendorong perubahan sistem pemungutan pajak. Jika sebelumnya menerapkan official assessment, maka selanjutnya diubah menjadi self assessment. Dengan penerapan sistem ini, wajib pajak mau tidak mau harus memahami berbagai peraturan perpajakan, sehingga dapat melaksanakan kewajiban pajaknya dengan baik.
Paradigma Baru Perpajakan Indonesia
Seiring dengan berjalannya waktu, struktur DJP terus mengalami penyempurnaan. Di penghujung dekade 1980-an, dalam tubuh DJP terbentuk tiga unit/kantor yang mampu menopang tiga pilar perpajakan.
Pada 1989, tiga pilar fungsi administrasi pajak, yaitu penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan, diwujudkan dengan membentuk Kantor Penyuluhan, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan unit Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, yang kemudian menjadi Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak.
Tak berhenti sampai situ, reformasi perpajakan terus dilanjutkan. Pada 1983 dan 1991-2000 dilakukan reformasi UU KUP. Setelah itu, DJP menerapkan reformasi birokrasi pada periode 2000-2001, sebagai persiapan menghadapi reformasi perpajakan tiga jilid. Jilid pertama dilakukan pada 2002-2008. Jilid kedua berlangsung pada 2009-2014.
Sedangkan reformasi perpajakan jilid ketiga mulai digulirkan tahun 2017, setelah berakhirnya program pengampunan pajak. Targetnya hingga 2024. Reformasi terbesar ini meliputi perubahan dalam organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, serta peraturan perpajakan.
Kemudian, reformasi perpajakan memunculkan paradigma baru bahwa wajib pajak adalah mitra atau partner. Hal ini diwujudkan dengan keberadaan satu jabatan khusus, yaitu Account Representative (AR). Tugasnya antara memantau kepatuhan formal wajib pajak, melaksanakan tugas konsultasi, dan membimbing wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
UU perpajakan juga memasuki babak baru, dengan dikeluarkannya UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemunculan UU HPP ini, diyakini akan mendekatkan kinerja perpajakan ke level potensialnya dengan perbaikan administrasi maupun kebijakan sehingga perpajakan nasional semakin siap menghadapi berbagai tantangan ekonomi ke depan.
Dari sisi administrasi, UU HPP menutup berbagai celah aturan yang masih ada dan mengadaptasi perkembangan baru aktivitas bisnis terkini. Hal ini berkaitan dengan maraknya bisnis yang berbasis digital mengikuti pesatnya kemajuan teknologi informasi.
Dari sisi kebijakan perpajakan, UU HPP akan memperkuat aspek keadilan dalam hal beban pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak, serta keberpihakan untuk mendukung penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Melalui UU HPP, aspek keadilan juga diwujudkan dengan ditambahkannya satu lapisan baru dalam pemungutan Pajak Penghasilan (PPh). Pada UU HPP, terdapat tarif pajak untuk orang kaya, atau yang memiliki penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Untuk lapisan baru ini, tarif PPh yang dikenakan adalah 35%.
Dalam bidang pemungutan pajak, perubahan juga terjadi seiring dengan kemajuan teknologi. Ini terlihat dari merambahnya pemungutan PPh dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas layanan transaksi pada perusahaan teknologi finansial atau financial technology (fintech).
Ketentuan pajak transaksi keuangan di fintech diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Beleid itu ditetapkan Sri Mulyani pada 30 Maret 2022.
Lalu, muncul pula pungutan PPN atas perdagangan menggunakan sistem elektronik (PMSE), yang kemudian dikenal sebagai pajak transaksi digital. Pungutan ini muncul, karena dewasa ini penggunaan sistem elektronik kian mendominasi transaksi di Indonesia.
Pungutan PPN atas transaksi digital ini termaktub dalam PMK Nomor 48/PMK.03/2020 yang berlaku 1 Juli 2020 dan diterapkan secara nasional pada 1 Desember 2020.
Hasilnya tergolong positif. Pada 2021, penerimaan PPN dari PMSE tercatat mencapai Rp 3,9 triliun. Sementara, per 30 Juni 2022, penerimaan PPN dari PMSE berhasil terhimpun Rp 7,1 triliun, hampir dua kali lipat dari penerimaan yang dicapai pada 2021.
Muncul pula pemajakan atas aset-aset digital yang sebelumnya sama sekali tidak ada, seperti aset kripto. Ketentuan mengenai pajak kripto ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Dari sisi pelayanan, DJP juga terus menyempurnakan sistemnya, dengan mendorong adopsi teknologi digital. Dalam hal ini, telah banyak kemudahan yang diberikan kepada wajib pajak karena berbagai urusan kini bisa diselesaikan secara daring atau online.
Contoh jenis layanan digital yang disediakan oleh DJP adalah e-registration, e-billing, e-filing, dan e-tracking. Jenis-jenis layanan ini akan dikembangkan terus sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Berbagai terobosan dalam bidang perpajakan ini makin menambah tugas DJP, selaku otoritas pajak Indonesia. Semakin kompleksnya tugas DJP membuktikan bahwa peran Direktorat ini kian nyata sebagai tulang punggung keuangan negara.