Menilik Perjalanan Panjang Lembaga Bea Cukai di Indonesia

Image title
3 Agustus 2022, 15:36
bea cukai, bea, cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Dok. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Ilustrasi, konferensi kerja Kepala Inspektorat/Inspeksi Direktorat Bea dan Cukai se-Indonesia, yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Prof. Dr. Ali Wardhana, 11 April 1971.

Menindaklanjuti kabar penyelewengan yang terjadi di lembaga bea cukai ini, pada 1971 Menteri Keuangan Ali Wardhana melakukan inspeksi mendadak. Saat itu, ia mendapati para petugas bersantai-santai, bukannya memberi pelayanan seperti seharusnya. Ia pun geram usai mendengar kabar suram tentang usaha penyelundupan ratusan ribu baterai merk terkenal.

Kegeraman Ali Wardhana ini beralasan, sebab sebelumnya ia baru saja memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan perbaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan.

Peringatan kepada Bea dan Cukai tak sekali dua kali disampaikan Ali Wardhana. Ia sempat memberikan teguran lisan di depan forum Konferensi Kerja Para Kepala Inspektorat dan Inspeksi Bea dan Cukai.

Saat itu, Menteri Keuangan menyatakan tak segan mengadakan tindakan perbaikan dalam tubuh Bea dan Cukai. Ia pun menekankan agar segala bentuk penyelewengan dan penyelundupan tidak terulang lagi.

Gebrakan lain yang dilakukan untuk meredam tindak kecurangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, adalah penerapan mutasi pejabat antar unit eselon I.

Pada 1978, Ali Wardhana merealisasikan langkahnya, dengan beberapa kali mengganti Direktur Cukai dengan pejabat dari unit eselon I lain. Namun, hal tersebut ternyata tak kunjung efektif meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Keberadaan benalu dalam tubuh lembaga bea cukai ini terus ada, bahkan saat Menteri Keuangan dijabat oleh Radius Prawiro, dan Ali Wardhana menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983.

Padahal pada 1983, Menteri Keuangan Radius Prawiro mengangkat Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam), sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Namun, sosok perwira Hankam pun tidak mampu meredam praktik-praktik penyelewengan di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Hingga akhirnya pada 1985, Ali Wardhana membuat gebrakan besar, dengan mengusulkan penutupan/pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada Presiden Soeharto.

Usulan ini, kemudian dibahas dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Soeharto, yang kemudian melahirkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.

Melalui Inpres ini, sebagian peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibekukan, dan dialihkan ke lembaga swasta asing, yakni Société Générale de Surveillance (SGS), yang berasal dari Swiss.

Untuk meredam praktik penyelewengan, pemerintah memberikan wewenang kepada SGS untuk mengeluarkan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP). Laporan ini mencakup kebenaran akan jenis dan mutu barang, volume, harga, biaya angkutan, nomor pos tarif, serta tarif bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya melakukan pengecekan saja.

Ini sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Inpres 4/1985 tentang Tata Laksana Impor. Aturan tersebut menyebutkan, bahwa barang-barang impor hanya dapat dimasukkan ke wilayah pabean Indonesia apabila ada LKP yang diterbitkan oleh surveyor yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini SGS.

LKP ibaratnya menjadi "surat sakti" untuk melakukan impor, di mana importir memberitahukan eksportir dan SGS tentang kewajiban pemeriksaan atas barang-barang yang akan diimpor. SGS kemudian akan memeriksa dan membuat LKP, kemudian menyerahkan laporan tersebut kepada bank devisa.

Bank devisa kemudian akan memeriksa kebenaran perhitungan bea masuk dan PPN berdasarkan LKP dan menyerahkan bill of landing (BL) dan LKP kepada importir, setelah yang bersangkutan melunasi bea masuk dan PPN kepada bank.

Kemudian, dibuat Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD) yang disederhanakan. Berbekal PPUD, BL, dan LKP, serta  bukti pembayaran bea masuk, importir mengurus pengeluaran barang dari pelabuhan.

Terhadap barang yang telah dilengkapi dengan PPUD, BL, LKP dan bukti pembayaran bea masuk, maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melakukan pemeriksaan barang, serta tidak melakukan perhitungan dan pembayaran bea masuk. Melainkan hanya memberikan persetujuan pengeluaran barang dari pelabuhan.

Nyata sekali, bahwa peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saat itu "dipreteli". Sebab, instansi ini hanya berfungsi mengecek keaslian dokumen, serta mengecek importir telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Terobosan fenomenal ini menjadikan prosedur ekspor-impor menjadi lebih mudah, menurunkan biaya logistik, dan meningkatkan penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai secara signifikan. Di saat yang sama, dilakukan pembenahan menyeluruh terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, agar bisa kembali dipercaya menjalankan tugasnya.

Butuh kurang lebih 10 tahun hingga kewenangan urusan kepabeanan dan cukai kemudian dikembalikan sepenuhnya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pengembalian wewenang ini dilakukan seiring dikeluarkannya UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.

UU 10/1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya. Ditetapkannya UU ini, disusul dengan UU Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, menjadi penanda produk hukum kolonial tidak berlaku lagi.

Pasca-Reformasi: Lembaga Bea Cukai Menatap Era Baru

Pasca-reformasi, Kementerian Keuangan terus melakukan perbaikan termasuk di sektor bea cukai. Pada 2000, di bawah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, dilakukan penataan organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengoptimalkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standardisasi teknis.

Perbaikan terus dilakukan dalam beberapa periode kepemimpinan. Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai kemudian dibentuk. Sementara Pusat Pengolahan Data dan Informasi Bea dan Cukai (PPDIBC) dihapus, dan dilakukan perubahan nomenklatur Direktorat Perencanaan Penerimaan menjadi Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai.

Untuk memperkuat fungsi pengawasan kepabeanan dan cukai, serta mengoptimalkan pencegahan dan pemberantasan penyelundupan, pada UPT Pangkalan Sarana Perhubungan Bea dan Cukai dilakukan perubahan nomenklatur menjadi Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai (PSOBC).

Dibentuk pula tenaga pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2006 serta beberapa kali penataan instansi vertikal sejak 2009 hingga 2014. Pada 2018, di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dilakukan penataan organisasi Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai.

Selain itu, dilakukan transformasi Balai Pengujian dan Identifikasi Barang menjadi Balai Laboratorium Bea dan Cukai sebagaimana diatur dalam PMK Nomor-84/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium Bea dan Cukai.

Memasuki dekade ketiga abad ke-21, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan dan mengimplementasi program National Logistic Ecosystem (NLE).

Program ini bertujuan memperbaiki performa logistik Indonesia, membantu kebutuhan entitas bisnis logistik yang transparan, cepat, serta berbiaya rendah.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga menerapkan empat terobosan antara lain, pemanfaatan data analytics forecast, penyiapan data forecast penerimaan, pengembangan model forecast penerimaan, serta melakukan piloting dan evaluasi.

Empat terobosan ini, merupakan langkah countercyclical ketika penerimaan terindikasi tidak sesuai trajectory. Ini berkaca dari performa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selama 15 tahun terakhir, di mana hanya 10 kali mencapai target terkait penerimaan dari kepabeanan dan cukai.

Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memainkan peranan penting melindungi masyarakat, dan industri dalam negeri, serta mengoptimalkan penerimaan negara untuk pembangunan nasional.

Langkah countercyclical sangat diperlukan, mengingat rasio penerimaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencapai kurang lebih 30% dalam penerimaan perpajakan.

Pada 2021 misalnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berhasil memberikan kontribusi penerimaan negara sebesar Rp 268,98 triliun atau dari target yang dicanangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Nilai realisasi tersebut, terdiri dari penerimaan atas bea masuk sebesar Rp 38,89 triliun, bea keluar sebesar Rp 34,57 triliun dan cukai sebesar Rp 195,52 triliun. Selain itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga mengelola penerimaan yang berasal dari pungutan atas Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) sebesar Rp 235,33 triliun.

Sehingga, total penerimaan yang dikelola oleh lembaga bea cukai Indonesia ini mencapai Rp 504,31 triliun atau sekitar 32,61% dari total penerimaan perpajakan 2021 yang sebesar Rp 1.546,51 triliun.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...