Ancaman Resesi Seret Wall Street Turun, Bursa Asia Ikut Rontok

Happy Fajrian
15 Agustus 2019, 12:34
Pedagang saham bekerja di lantai bursa di New York Stock Exchange (NYSE) di Manhattan, New York City, Amerika Serikat. Tanda-tanda resesi yang mencuat membuat Wall Street anjlok hingga 3% pada penutupan perdagangan Rabu (14/8). Kekhawatiran resesi tersebu
ANTARA FOTO/REUTERS/Andrew Kelly
Pedagang saham bekerja di lantai bursa di New York Stock Exchange (NYSE) di Manhattan, New York City, Amerika Serikat. Tanda-tanda resesi yang mencuat membuat Wall Street anjlok hingga 3% pada penutupan perdagangan Rabu (14/8). Kekhawatiran resesi tersebut juga menjalar ke bursa Asia yang memerah hari ini.

(Baca: Perang Dagang Mereda Sesaat, Trump Tunda Kenakan Tarif Impor Ponsel dan Mainan Tiongkok)

Keputusan Trump tersebut lantaran Tiongkok belum memenuhi janjinya untuk membeli lebih banyak produk pertanian AS dan menghentikan penjualan fentanyl, obat opioid pereda nyeri, yang dinilai Trump telah menyebabkan kecanduan di AS sehingga banyak warga AS yang meninggal karenanya.

Setelah Trump mengumumkan kenaikan tarif tersebut, pada Senin (4/8) nilai tukar mata uang Tiongkok, yuan, turun ke level terendahnya dalam 11 tahun terakhir menjadi 7 yuan per dolar AS. Turunnya nilai yuan ini memberikan Tiongkok keunggulan terhadap AS dalam ekspor impor, karena harga produk Tiongkok menjadi lebih murah dalam dolar.

Trump pun menuduh Tiongkok telah memanipulasi yuan untuk membalas tarif impor AS yang diumumkannya pada Jumat sebelumnya. Walaupun International Monetary Fund (IMF) tidak mendukung klaim AS tersebut dan menilai penurunan yuan sejalan dengan fundamental ekonomi Tiongkok.

Namun kemarin bursa Asia kembali menghijau karena Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif dari tanggal 1 September menjadi 15 Desember 2019. Keputusan tersebut dibuat karena Trump tidak ingin penerapan tarif berdampak terhadap daya beli masyarakat AS yang akan menghadapi libur Natal.

(Baca: Ekonomi 2020 dan Bayang-bayang Resesi Akibat Perang Dagang)

“Kami melakukan ini untuk musim Natal, kalau-kalau kenaikan tarif ini akan berdampak pada pelanggan AS. Kami menunda kenaikan tarif sehingga tidak mengganggu musim belanja Natal," kata Trump, Selasa (13/8) seperti dilansir dari Reuters.

Analis global dari J.P. Morgan Asset Management Kerry Craig mengatakan bahwa inverted yield curve merupakan tanda peringatan bagi investor. "Investor harus memeriksa apakah portofolio investasi mereka kuat. Tapi itu bukan alasan untuk panik atau melakukan aksi jual," ujarnya, Kamis (15/8).

Rilis data ekonomi Tiongkok periode Juli 2019 pun menunjukkan perkembangan yang mengecewakan. Tercatat output sektor industri hanya tumbuh 4,8% secara tahunan. Capaian ini lebih rendah dari prediksi pasar dalam jajak pendapat Reuters.

(Baca: Goldman Sachs: Kekhawatiran Perang Dagang Berujung Resesi Meningkat)

Dengan perkembangan tersebut, IHSG pun diperkirakan akan turun pada perdagangan hari ini. Apalagi Badan Pusat Statistik baru saja mengumumkan bahwa neraca perdagangan Indonesia Juli 2019 mencatatkan defisit sebesar US$ 60 juta.

“IHSG diperkirakan dibayangi sentimen dari dalam negeri berupa data neraca perdagangan Juli yang diperkirakan defisit. Selain itu, anjloknya saham AS pada Rabu yang mengakumulasi sentimen negatif bagi pasar, dan dapat menjadi pernyebab terkoreksinya IHSG pada hari ini,” kata analis Valbury Sekuritas, Alfiansyah, dalam risetnya hari ini.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...