Prospek Harga Saham Bukalapak Tembus Rp1.000, Apa Faktor Pendukungnya?
Baru seumur jagung, PT Bukalapak.com Tbk melantai di Bursa Efek Indonesia, harapan tinggi investor pada saham tersebut langsung terbanting. Harga saham emiten berkode BUKA itu sejak melantai anjlok cukup dalam. Namun beberapa faktor diperkirakan dapat memicu emiten ini bangkit lagi.
Beberapa waktu lalu, melalui penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) pada 6 Agustus 2021, Bukalapak menjajakan harga saham perdana Rp 850 per lembar. Namun harganya anjlok menjadi Rp 444, terendah sejauh ini, pada penutupan perdagangan 7 Desember 2021. Artinya, sudah turun 47,76 %.
Sebenarnya, harga saham Bukalapak sempat naik setelah IPO. Nilai tertinggi pada penutupan 9 Agustus 2021 di harga Rp 1.110 per saham. Jika investor masuk di harga tertinggi dan terus bercokol hingga harga terendah, penurunannya mencapai 60 %.
Meski begitu, sejumlah sekuritas memperkirakan harga saham Bukalapak bisa bangkit dan melihat ada prospek cerah pada saham tersebut. Sekuritas pun merekomendasikan beli saham Bukalapak setelah melihat laporan keuangan per triwulan III-2021.
Rekomendasi Sejumlah Sekuritas terhadap Saham Bukalapak | ||
Sekuritas | Rekomendasi | Target Harga |
Sucor Sekuritas | Beli | Rp 870 |
Mandiri Sekuritas | Beli | Rp 1.400 |
UBS | Beli | Rp 1.150 |
J.P. Morgan | Beli | Rp 1.000 |
Sumber: Riset Masing-Masing Sekuritas |
Bukalapak memang masih membukukan rugi bersih Rp 1,12 triliun hingga kuartal III-2021. Namun, nilai kerugiannya menyusut 19,17% dibandingkan periode sama tahun lalu yang merugi Rp 1,39 triliun.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III-2021 yang dirilis hari Selasa ini (30/11), Bukalapak mampu meraih pendapatan Rp 1,34 triliun dalam sembilan bulan tahun ini. Pendapatan tersebut tumbuh 42,1% dibanding pendapatan periode sama 2020.
Total pendapatan Bukalapak terdiri dari tiga sektor bisnis. Pertumbuhan pendapatan paling signifikan berasal dari pendapatan Mitra sebesar Rp 496,7 miliar atau tumbuh 322,82%.
Bisnis Marketplace menyumbang pendapatan Rp 780,41 miliar atau tumbuh 5,18%. Sedangkan pendapatan dari BukaPengadaan Rp 70,56 miliar, malah turun 20,67% dari periode sama 2020.
Selain itu, total processing value (TPV) hingga triwulan III-2021 senilai Rp 87,9 triliun, melonjak 51% dari periode sama tahun lalu. TPV adalah total transaksi yang benar-benar terjadi di Bukalapak, tidak termasuk barang yang sudah di-check out tapi tidak jadi dibeli.
TPV sektor Mitra hingga triwulan III-2021 bertambah 179% menjadi Rp 40 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kontribusi Mitra terhadap TPV secara keseluruhan mencapai 51%. Sementara, TPV bisnis Marketplace hanya tumbuh 9% secara tahunan atau tumbuh 0% secara kuartalan.
J.P. Morgan menilai ada peluang harga saham Bukalapak meningkat dibandingkan dengan sejumlah saham lainnya (overweight). Berdasarkan analisis, target harga saham Bukalapak pada akhir 2022 bisa mencapai Rp 1.000 per saham atau naik 83,48% dari harga saat riset dibuat Rp 545 per saham.
Analis J.P. Morgan Henry Wibowo dalam riset tertulis mengatakan, Bukalapak adalah pemain bisnis online to offline (O2O) terkemuka di Indonesia dan masuk tiga besar e-commerce yang fokus pada kota tier 2 dan tier 3.
Henry optimis terhadap saham Bukalapak karena tiga alasan. Pertama, profil pertumbuhan yang kuat dengan CAGR pendapatan 65% pada periode 2020-2023. Hal ini didorong oleh bisnis Mitra dengan meningkatkan monetisasi dan tingkat penerimaan sebesar 2,3% pada 2023 dibanding 1,6% pada 2020.
Alasan kedua optimisme muncul adalah Bukalapak bagian dari ekosistem Grab dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Pasalnya, Emtek merupakan pemegang saham Bukalapak bersama Ant Financial, GIC, dan Microsoft.
"Jadi kami melihat potensi kolaborasi baru dalam bahan makanan, logistik, dan layanan keuangan," kata Henry.
Terakhir, masuknya saham Bukalapak pada indeks MSCI pada semester I-2022, mengingat saham Bukalapak sudah termasuk dalam 10 saham terbesar dan satu-satunya proksi teknologi dalam indeks LQ45.
Henry memperkirakan GMV untuk bisnis Marketplace Bukalapak pada 2023 ada di level 0,5x. Sementara GMV untuk bisnis Mitra Bukalapak pada 2023 diperkirakan ada di level 0,33x.
GMV atau Gross Merchandise Value merupakan satuan untuk menghitung total transaksi kotor. Dalam satuan tersebut, transaksi yang batal setelah checkout dari keranjang, tetap dihitung sebagai total transaksi.
Adapun, target harga saham yang ditetapkan oleh J.P. Morgan sudah memperhitungkan sejumlah risiko. Risiko pertama yang diperhitungkan adalah meningkatnya persaingan dalam bisnis O2O Mitra yang membatasi pangsa pasar Bukalapak.
Risiko berikutnya adalah meningkatnya persaingan di pasar e-commerce kota tier 2 dan tier 3, yang merupakan segmen bisnis utama Bukalapak. Ada risiko eksekusi monetisasi yang lebih lemah dari yang diharapkan yang mengakibatkan tingkat penerimaan pendapatan di bawah rata-rata industri.
Ada pula risiko kolaborasi dan sinergi yang tertunda atau lebih kecil dari perkiraan dengan ekosistem Grab. "Terakhir, risiko dari kejutan regulasi negatif yang melibatkan e-commerce dan O2O, seperti perpajakan dan/atau izin usaha," kata Henry.
UBS Securities Asia Limited, dalam riset tertulis, merekomendasikan beli pada saham Bukalapak dengan target harga yang dipatok Rp 1.150 per saham dalam 12 bulan ke depan. Nilai tersebut tumbuh 101,75% dibandingkan harga saham saat riset tersebut dibuat Rp 570 per saham.
Analis UBS Navin Killa mengatakan, UBS merekomendasikan beli pada saham Bukalapak setelah membandingkan beberapa valuasi Bukalapak seperti EV/Penjualan, EV/GMV, dan EV/Laba Kotor dengan beberapa perusahaan e-commerce lain di Asia dan Amerika Serikat untuk menilai Bukalapak.
EV atau Enterprise Value merupakan nilai total dari perusahaan. Perhitungan tersebut dinilai lebih detail dalam menggambarkan nilai perusahaan dibandingkan kapitalisasi pasar yang fluktuatif.
Salah satu valuasi yang digunakan Navin untuk menilai saham Bukalapak pada 2023 dengan menggunakan EV/EBITDA di level 95x. Nilai valuasi tersebut sejalan dengan proyeksi Manajemen Bukalapak yang memasang target EBITDA positif pada 2023.
Meski begitu ada sejumlah risiko bagi Bukalapak yaitu terkait prospek ekonomi makro, risiko peraturan yang berkaitan dengan privasi data, penyimpanan data, komisi pedagang, dan pembayaran. Risiko lain, terkait kebocoran data dan teknologi.
"Mengingat meningkatnya kekhawatiran seputar privasi data dan meningkatnya risiko kebocoran data," kata Navin.
Analis Mandiri Sekuritas Adrian Joezer menilai dengan rilisnya laporan keuangan Bukalapak per September 2021, memberikan lebih banyak kejelasan tentang arah bisnis dan strategi pertumbuhan Bukalapak.
"Sangat penting dalam mendukung kepercayaan pasar terhadap Bukalapak, terutama dalam hal saldo kas sebesar Rp 23,63 triliun pasca-IPO," katanya dalam riset tertulis yang dikutip Kamis (9/12).
Seperti diketahui, berkat dana IPO jumbo yang diperoleh, aset Bukalapak melonjak menjadi Rp 25,01 triliun per September 2021. Nilai aset tersebut berasal dari kas dan setara kas yang mencapai Rp 23,63 triliun dari hasil IPO yang belum banyak digunakan.
Berdasarkan analisisnya, dengan harga saat ini, valuasi saham Bukalapak pada 2022 diperdagangkan dengan EV/Penjualan di 9,9x dan EV/Laba Kotor di level 6,1x. Adrian mengatakan, Mandiri Sekuritas masih mempertahankan rekomendasi beli pada saham Bukalapak.
Mandiri Sekuritas memasang target harga pada saham Bukalapak mencapai Rp 1.400 per saham. Target tersebut tumbuh 156,88% dibandingkan harga saham saat Adrian membuat riset tersebut di harga Rp 545 per saham.
"Kami pikir level ini tidak menuntut, meskipun ketidakpastian tetap ada pada eksekusi peluncuran bisnis baru dan detail tentang potensi merger dan akuisisi," kata Adrian.
Dalam risetnya, Adrian menilai ada sejumlah strategi Bukalapak yang menarik untuk diperhatikan pelaku pasar. Salah satunya, ekspansi untuk bisnis Mitra Bukalapak dengan meluncurkan aplikasi Buka Mitra yang ditargetkan mampu menggandeng 10 juta mitra akhir tahun ini.
Sejumlah pihak yang menjadi sasaran mitra Bukalapak seperti seperti warung, agen pulsa, bengkel, pangkas rambut, dan lainnya. Selain itu, Bukalapak juga menggencarkan kolaborasi dengan ekosistem yang sudah terbentuk. Misalnya, dengan Grab.
Adrian juga optimis pada strategi pertumbuhan anorganik Bukalapak setelah mendapatkan fasilitas pinjaman dari Bank DBS senilai Rp 2 triliun. Bukalapak bisa memanfaatkan peluang anorganik sebelum menggelar RUPSLB pada 23 Desember 2021 untuk meningkatkan fleksibilitas penggunaan dana IPO.
"Bukalapak saat ini mengeksplorasi beberapa potensi untuk mempercepat peluncuran inisiatif baru dibandingkan dengan pembangunan organik," kata Adrian.
Sucor Sekuritas masih mempertahankan rekomendasi beli pada saham Bukalapak pada target harga Rp 870 per saham, lebih rendah dari target harga sebelumnya. Pemangkasan target harga ini didasarkan pada proyeksi TPV dan laba kotor yang lebih rendah pada 2022.
Analis Sucor Sekuritas Paulus Jimmy dan Adrianus Bias Prasuryo menyangkan, TPV dari bisnis Marketplace Bukalapak yang hanya tumbuh 9% secara tahunan, bahkan perkuartalan tidak tumbuh. "Padahal, industri pasar e-commerce sedang booming," katanya dalam riset tertulisnya yang dikutip Kamis (9/12).
Secara valuasi, Sucor Sekuritas menilai EV/GMV Bukalapak akan terdiskon 60% dari rata-rata industri sejenis pada 2022. Sementara valuasi EV/ laba kotor, terdiskon 50% dari rata-rata industri sejenis.
"Kami sangat memperhatikan katalis potensial dari inisiatif baru Bukalapak ke depan," kata kedua analis Sucor Sekuritas.