DPR Tak Setuju Rencana Pemerintah Dorong IPO Pertamina Hulu Energi
Pemerintah tengah menyiapkan PT Pertamina Hulu Energi untuk melakukan penawaran saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO). Wakil Menteri BUMN, Pahala Nugraha Mansury mengatakan PHE bakal melepas 10-15% sahamnya kepada publik.
Kendati demikian, wacana Kementerian BUMN tersebut mendapat sejumlah catatan dari Komisi VI DPR. Anggota Komisi BUMN Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid menilai perusahaan energi milik negara yang berbasis pada sektor hulu dan hilir tidak patut diserahkan kepada investor di luar negara.
Nusron mengatakan, sektor industri hulu migas seperti Pertamina Hulu Energi dan sektor hilir seperti Pertamina Patra Niaga harus mendapat proteksi absolut dari pemerintah.
"Jadi kalau pilihannya IPO di dalam Pertamina saya usulkan pilih lah yang di midstream seperti PT Kilang Pertamina Internasional atau Pertamina Internasional Shipping. Hulu dan hilir jangan disentuh," kata Nusron dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi VI DPR pada Rabu (7/12).
Dia beranggapan, posisi tawar Pertamina saat ini sudah mulai turun dibanding beberapa dekade lalu yang memosisikan Pertamina di atas kontraktor, seperti Exxon dan Chevron. Kondisi ini mulai berubah saat pemerintah mengesahkan mulai mengesahkan BP Migas.
"Dulu posisi Pertamina di atas semua itu, Exxon dan Chevron menjadi sub kontraktor Pertamina. Sekarang posisi antara kontraktor sama Pertamina ini sudah sama, dan ini mau didelusi lagi sahamnnya di sektor hulu," ujar Nusron.
Di forum yang sama, anggota Komisi VI Fraksi PDIP Darmadi Durianto berpandangan bahwa pertamina tak perlu melakukan IPO pada subholding upstream Pertamina Hulu Energi. Dia menyebut, cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajad hidup orang banyak musti dikuasi oleh negara.
"Menang saya tidak melihat bahwa PHE itu butuh IPO, ini gak penting dilakukan IPO kok mau dilakukan IPO," kata Darmadi.
Pahala menjelaskan rencana IPO PHE ditujukan sebagai langkah perusahaan untuk meningkatkan dan menjaring sumber pendanaan dari luar holding PT Pertamina. Sebab, PHE membutuhkan pendanaan untuk belanja modal sebesar US$ 4-6 miliar atau sekitar Rp 60-90 triliun per tahun.
Rencananya, belanja modal tersebut bakal dialolasikan untuk pengembangan blok-blok migas domestik maupun pengembangan blok migas yang berada di luar negeri, seperti di Aljazair.
"Ini pendanaan yang besar, pelaksanaan IPO akan meningkatkan diversifikasi pendanaan dari yang hanya selama ini diperoleh dari Holdingnya, yaitu Pertamina," kata Pahala.
Lebih lanjut, kata Pahala, langkah kementerian untuk melakukan IPO kepada PHE disebut bisa mendatangkan dampak positif seiring momentum tingginya harga minyak dan gas bumi. Selain itu, masih sedikitnya perusahaan migas yang melantai di bursa efek juga dilihat sebagai peluang yang meyakinkan.
"Keterbatasan emitem migas di bursa efek dan momentum harga minyak dan gas ini bisa mendorong sentimen yang positif dari pasar modal Indonesia," ujar Pahala.