Ditolak DPR, Rini Pastikan PP 72/2016 Hanya Buat Holding BUMN

Miftah Ardhian
9 Februari 2017, 15:30
Gedung Kementerian BUMN
Arief Kamaludin|KATADATA

Sebelumnya, Komisi VI DPR menolak PP 72/2016 dijadikan payung hukum pendirian induk usaha BUMN. Alasannya, bila menggunakan payung hukum tersebut maka kewenangan DPR dalam mengawasi aksi korporasi perusahaan-perusahaan pelat merah bakal tergerus.

Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohamad Hekal mengatakan PP 72/2016 disebutkan bahwa BUMN akan menjadi anak usaha dari holding. Padahal, sesuai Undang-Undang BUMN, anak usaha BUMN secara definisi bukanlah BUMN. Bila peraturan ini dijadikan payung hukum, maka aksi korporasi anak usaha holding, termasuk pelepasan aset tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR.

"Secara umum teman-teman di Komisi VI keberatan dengan PP 72/2016 ini. Kami, secara sikap politik belum menyetujui adanya peraturan tersebut," ujar Hekal saat ditemui di ruang rapat Komisi VI, Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/1).

Ia menganggap, lewat peraturan tersebut pemerintah ingin mengambil konsensus sendiri untuk menentukan aksi korporasi perusahaan-perusahaan BUMN. Dia khawatir pemerintah akan dengan mudah melepas aset atau saham BUMN kepada pihak swasta, terutama swasta asing. "Itu yang kami mau amankan, kalau dia (BUMN) sudah lepas dari milik pemerintah ke swasta maka akan jadi perkara," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI lainnya Inas Nasrullah Zubir mengatakan, dalam PP 72 tahun 2016 terdapat satu pasal yang bermasalah yakni pasal 2A. Dalam pasal ini disebutkan bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain. Penyertaan modal ini dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dengan demikian, bisa terjadi pemindah tanganan aset tersebut kepada Perseroan Terbatas, baik milik BUMN maupun swasta lainnya, bahkan asing dengan cara dijadikan penyertaan modal negara dalam suatu perusahaan. "Ini berbahaya karena aset negara bisa pindah ke perusahaan asing," ujar Inas.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...