BI Tetap Fokus Turunkan Defisit Transaksi Berjalan
Sejauh ini, kata dia, investor mempertanyakan kemampuan pembayaran atau utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta Indonesia. Ini tecermin dalam neraca transaksi berjalan. Jika terus defisit, maka biaya pendanaan (cost of fund) Indonesia akan semakin mahal.
?Isu kenaikan Fed rate memang terus mempengaruhi kurs rupiah, maka fundamental (ekonomi) harus diperbaiki,? tutur Arif.
Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Budi Hikmat menilai, investor saat ini tengah menunggu reformasi ekonomi yang dijalankan pemerintahan Joko Widodo. Menurutnya, ini terkait adanya kesan perubahan arah kebijakan otoritas moneter dan fiskal yang kembali fokus pada stabilitas makro ekonomi.
?BI menunjukkan ?tightning bias? dengan mempertahankan suku bunga,? kata dia dalam analisis mingguannya. ?Sementara media mengutip pernyataan Menteri Keuangan yang tidak terlalu mengejar target pertumbuhan ekonomi.?
Perubahan orientasi ini memicu pertentangan karena Indonesia telah menggelar stabilisasi sejak 2013 lalu. ?Stabilisasi yang terlalu lama tanpa reformasi berisiko memicu resesi. Kebijakan moneter dan fiskal yang ketat akan kehilangan kredibilitas,? kata Budi.
Lebih lanjut, Budi mengatakan, penerapan kebijakan moneter dan fiskal yang ketat untuk meredam defisit telah menurunkan daya beli masyarakat dan keuntungan investasi asing langsung. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang kembali menaikkan harga BBM dan menahan impor.
Semestinya, pemerintah konsisten memacu pertumbuhan ekonomi untuk menaikkan daya beli masyarakat yang kemudian meningkatkan kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya.
?Arus masuk ini akan memperkuat rupiah. Sebaliknya perlambatan ekonomi justru memicu risiko menurunkan penerimaan pajak pemerintah,? kata dia.