Ancaman Kisruh Pertamina Vs PLN Terhadap Fiskal

Image title
Oleh
13 Agustus 2014, 17:25
Kementerian Keuangan
Arief Kamaludin|KATADATA

KATADATA ? Pembahasan mengenai konflik antara PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) belum bisa selesai. Bahkan muncul kekhawatiran, dengan selesainya masalah ini, beban subsidi energi bisa lebih membesar.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pemerintah akan melakukan audit laporan keuangan kedua perusahaan. Pemerintah pun menunjuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit tersebut.

Audit perlu dilakukan, karena meski hal ini merupakan masalah bisnis dua perusahaan, tapi tetap melibatkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Audit juga dilakukan guna mendapatkan landasan yang tepat nantinya dalam penentuan harga solar ke depannya.

"Tidak bisa seenaknya mengklaim-klaim kan. Semuanya harus ada akuntabilitas harus betul.  Itu kita luruskan, jadi mindset menghitungnya yang kita betulkan," ujar Askolani di Jakarta, Rabu (13/8).

(Baca: Kementerian Keuangan Akan Telusuri Klaim Rugi Pertamina)

Seperti diketahui, Pertamina dalam kesepakatan awal dengan PLN menyepakati harga solar 5 persen di atas harga acuan minyak Singapura (Means of Plats Singapore/MOPS). Dalam perjalanannya, Pertamina menilai besaran harga tersebut merugikan, karena lebih rendah dari harga keekonomiannya. Akhirnya BPKP melakukan audit dan merekomendasikan harga solar yang layak adalah 7,8 persen di atas MOPS. Meski demikian, PLN tetap menolak dengan alasan ketentuan dari Kementerian Keuangan.

Saat ini kedua perusahaan sudah bersepakat bahwa harga solar yang dijual Pertamina kepada PLN sebesar 9 persen di atas MOPS, yang berlaku mulai Juli 2014. Namun, Pertamina tetap ngotot untuk meminta kenaikan harga tersebut berlaku mulai Januari 2013. Karena Pertamina mengklaim sudah mengalami kerugian sejak periode tersebut.

Hasil audit BPKP, nantinya dapat dijadikan acuan untuk menentukan anggaran penanggulangan harga solar, yang termasuk dalam belanja pemerintah pusat. Belanja subsidi energi terancam akan betambah jika Pertamina terbukti mengalami kerugian akibat penentuan besaran harga solar yang rendah.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto membenarkan bahwa jika hasil audit BKPK menunjukkan bahwa klaim kerugian Pertamina benar, maka besaran subsidi listrik akan terkena imbas. Karena besaran harga solar bersentuhan langsung dengan perhitungan besaran Biaya Pokok Produksi yang menjadi dasar perhitungan subsidi terhadap PLN.

Masalahnya, ancaman penambahan belanja subsidi juga tentu akan memberikan pengaruh terhadap besaran defisit anggaran. Pemerintah dalam APBNP 2014 menargetkan besaran subsidi energi sebesar Rp 350,3 triliun yang terdiri dari belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG 3 Kg sebesar Rp 246,4  triliun, serta subsidi listrik sebesar Rp 103,8 triliun. Sedangkan defisit anggaran dalam APBNP 2014 sebesar 2,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menteri Keuangan Chatib Basri sebelumnya menjelaskan penghematan (atau penambahan) anggaran terhadap APBN sebesar Rp 10 triliun, akan berpengaruh terhadap defisit anggaran sebesar 0,1 persen dari PDB. Perhitungan ini dengan asumsi besaran PDB saat ini sekitar Rp 10.000 triliun dalam APBNP 2014.

Jika tidak mau membebani APBNP 2014, pemerintah tentu masih bisa melakukan penundaan pembayaran subsidi hingga tahun 2015 melalui mekanisme carry over dalam APBN 2015 yang dengan demikian akan menambah beban bagi pemerintah baru nantinya. Hingga saat ini besaran carry over subsidi energi dari APBNP 2014 ke APBN 2015 telah mencapai sekitar 50 triliun.

Petrus Lelyemin

Reporter: Redaksi
Editor: Arsip

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...