Poin Penting RUU HPP: Kenaikan Tarif PPN dan PPh, Tax Amnesty Jilid II

Abdul Azis Said
1 Oktober 2021, 16:23
RUU HPP, tax amnesty jilid 2, PPN
ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/wsj.
Petugas pajak dengan memakai pelindung wajah dan dibatasi sekat kaca melayani warga wajib pajak dengan layanan langsung atau tatap muka di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Solo, Jawa Tengah, Senin (15/6/2020). Kantor Pajak Solo mulai membuka kembali layanan pajak tatap muka atau yang tidak dapat dilakukan secara daring dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan tatanan normal baru yang telah ditetapkan Unit Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah II.
  • Tarif 6% untuk harta yang diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN.
  • Tarif 8% untuk harta yang tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN Tarif
  • 6% untuk harta di luar negeri yang kemudian dialihkan ke dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, energi terbarukan atau pembelian SBN.
  • Tarif 8% untuk harta di luar negeri yang kemudian dialihkan ke dalam negeri, tetapi tidak diinvestasikan untuk sektor pengolahana SDA, energi terbarukan ataupun SBN.
  • Tarif 11% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Sementara pada kelompok wajib pajak yang melaporkan harta setelah periode tax amnesty jilid pertama, berlaku ketentuan tarif sebagai berikut:

  • Tarif 12% untuk harta yang diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN.
  • Tarif 14% untuk harta yang tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
  • Tarif 12% untuk harta di luar negeri yang kemudian dialihkan ke dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, energi terbarukan atau pembelian SBN.
  • Tarif 14% untuk harta di luar negeri yang kemudian dialihkan ke dalam negeri, tetapi tidak diinvestasikan untuk sektor pengolahana SDA, energi terbarukan ataupun SBN.
  • Tarif 18% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

3. PPh Orang Pribadi dan Badan

Adapun tarif untuk penghasilan kena pajak bagi WP orang pribadi dalam negeri sebagao berikut.

  • penghasilan sampai Rp 60 juta akan dikenai tarif 5%
  • Penghasilan di atas Rp 60 juta-Rp250 juta berlaku tarif 15%
  • Penghasilan di atas Rp 250 juta-Rp 500 juta berlaku tarif 25%
  • Penghasilan di atas Rp 500 juta-Rp 5 miliar berlaku tarif 30%
  •  Penghasilan di atas Rp 5 miliar berlaku tarif 35%

Pemerintah juga menaikkan batas ketentuan penghasilan yang tidak kena pajak per tahun, yakni.

  • Rp 54 juta untuk orang pribadi
  • Rp 4,5 juta tambahan untuk WP yang kawin
  • Rp 54 juta tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami
  • Rp 4,5 juta tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Sementara tarif PPh untuk WP badan dalan negeri dan bentuk usaha tetap diturunkan dari 28% menjadi 22%. Selain itu, tarif tersebut bisa dikurangi 3% apabila badan berbentuk perseroan terbuka, memiliki jumlah keseluruhan saham diperdagangkan di BEI minimal 40% dan memenuhi persyaratan tertentu.

4. Pajak Karbon

Pemerintah menambah objek pajak baru yakni emisi karbon. Pajak karbon berlaku apabila WP memberi barang yang mengandung karbon, atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon.

Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar. Kendati demikian, jika harga di pasar ternyata lebih rendah dari Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen, maka berlaku tarif minimum Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen.

5. Penggunaan NIK Sebagai NPWP

Pasal 2 RUU HPP mengatur bahwa wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.

6. Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Pajak

Pemerintah dapat menghentikan maka penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan esuai permintaan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung untuk kepentingan penerimaan negara. Namun, penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan setelah wajib pajak atau tersangka melunasi:

a. Kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar satu kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.

b. Kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.

c. Pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Adapun apabila perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, dan terdakwa dapat melunasi kerugian pendapatan negara, jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, dan sebagainya, ini dapat menjadi pertimbangan untuk ditutut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.

Namun jika wajib pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap penyidikan sampai persidangan belum melunasi sebagaimana yang dimaksud, pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...