APBN Akan Jebol Bila Harga BBM Tak Dinaikkan

Shabrina Paramacitra
2 September 2022, 18:35
Harga BBM bersubsidi belum juga naik meski wacananya telah menggema sejak beberapa waktu lalu. Namun, penyesuaian harga tetap perlu dilakukan. Apa alasannya?
ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.
Pengendara motor antre membeli Pertalite di SPBU di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (31/8/2022). Antrean itu terjadi lantaran adanya rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika harga Pertalite dan solar tak dinaikkan, anggaran negara berpotensi tak cukup membiayai subsidi energi.

Dalam tulisannya yang diunggah pada Minggu (28/8) itu, PT Pertamina, badan usaha milik negara (BUMN) yang menjadi pelaksana penugasan harus membayar kelebihan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih tinggi dari harga keekonomian. “(Akibatnya) pemerintah harus membayar kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan,” ujarnya. 

Menurut laporan Kementerian Keuangan, selama periode Januari-Februari 2022 belanja subsidi energi Indonesia mencapai Rp21,7 triliun. Nilai tersebut setara 16,97% dari anggaran subsidi energi sebesar Rp134,03 triliun.

Khusus anggaran subsidi BBM jenis tertentu, jumlahnya tercatat sebesar Rp11,3 triliun. Secara total, sejak 2018 realisasi subsidi energi konsisten menembus angka Rp100 triliun.Jika pemerintah terus memberi subsidi energi, maka akan terjadi pembengkakan belanja pemerintah.Selain berdampak buruk pada beban anggaran belanja negara, subsidi BBM juga berperan dalam peningkatan emisi karbon. Menurut Faisal, subsidi BBM bisa dialihkan ke sektor pendidikan dan kesehatan yang menyasar langsung ke masyarakat rentan.

Menghapus subsidi BBM, kata dia, kebijakan tidak populer dan memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat, “bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin.”

Hal-hal lain yang menyebabkan harga BBM naik di antaranya pergerakan harga minyak mentah dan Indonesian Crude Price (ICP). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, semenjak menyampaikan rencana tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan listrik kepada DPR, harga minyak menunjukkan tren peningkatan.

“Jadi waktu kami membuat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yang sudah dibahas dengan DPR dengan harga minyak US$100 pe barel, jelas bahwa menurut forecast dari konsensus maupun dari energy organization itu US$100 per barel. Nilai itu lebih rendah dari kemungkinan realisasi,” katanya, sebagaimana diwartakan Katadata.co.id pada Senin (29/8).

Harga energi yang melambung ini salah satunya dipengaruhi invasi Rusia ke Ukraina. Faktor geopolitik ini memengaruhi berbagai sektor, salah satunya sektor energi yang juga memberi dampak pada Indonesia. Tingginya harga minyak membuat anggaran subsidi berpotensi melambung.

“Hari ini pun kita juga lihat harga minyak juga masih di atas US$100 per barel,” kata Sri Mulyani.

Sebagai net importer minyak dunia, Indonesia juga berpotensi tertekan dari sisi nilai tukar. Per akhir Agustus 2022, US$1 tercatat setara kisaran Rp14.700 hingga Rp14.800. Asumsi makro APBN 2022 memberi ruang nilai tukar rupiah pada rentang Rp14.500 hingga Rp14.900 per US$.

Namun, pada Juni 2022, rupiah sempat terdepresiasi ke level Rp15.000 per US$. Angka tersebut melonjak dari posisi Januari 2022, ketika rupiah sempat menyentuh Rp14.300 per US$.

Sementara itu, kuota BBM bersubsidi terus berkurang akibat meningkatnya pembelian. Menurut laporan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), realisasi penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar sudah melampaui 50% dari kuota sejak awal tahun sampai 20 Juni 2022. Sri Mulyani mengungkapkan, kuota BBM jenis Pertalite dan solar berpotensi habis pada September dan Oktober 2022. Artinya, anggaran subsidi dan kompensasi untuk kedua BBM bersubsidi itu akan habis sebelum akhir tahun.

Pemerintah menetapkan kuota Pertalite sebanyak 23,05 juta kiloliter (KL) pada 2022. Namun, hingga Juli 2022 realisasi konsumsi Pertalite sudah mencapai 16,84 juta KL.

Kemudian, kuota solar dari pemerintah tercatat sebanyak 14,91 juta KL untuk 2022, tetapi realisasi konsumsinya sudah mencapai 9,88 juta KL hingga Juli 2022. Jika mengikuti tren konsumsi ini, maka sebelum akhir tahun kuota solar sudah habis. “Jadi kalau ikuti tren ini, Oktober habis kuotanya itu (solar),” ujarnya.

(Tim Riset Katadata)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...