Sri Mulyani dan Bos BI Waspadai Dampak Pelambatan Ekonomi Cina
"Ekspor kita meningkat tapi tidak sekuat sebelumnya, tidak hanya global tapi juga dampak pelemahan ekonomi Tiongkok," kata Perry dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (21/9).
Perry juga mengatakan pelemahan ekonomi Cina juga merupakan imbas dari ekspor ke AS yang melemah dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tidak sekuat ekspektasi awal. Kondisi ini berkebalikan dengan ekonomi Amerika.
Kuatnya ekonomi Amerika didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings). Inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak.
Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Akibatnya, tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia.
Namun Perry tetap optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik ditopang oleh permintaan domestik. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh kuat sejalan dengan keyakinan masyarakat yang masih tinggi, termasuk generasi muda yang meningkatkan konsumsi jasa.
“Kinerja investasi tetap baik sejalan dengan berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional. Ekspor melambat seiring pelemahan permintaan global dan turunnya harga komoditas, di tengah ekspor jasa yang cukup kuat,” katanya.
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh beberapa lapangan usaha sektor jasa, seperti perdagangan besar dan eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan minum.