Inflasi Melanda, Tabungan Warga RI Tergerus Biaya Hidup yang Tinggi
Fenomena Makan Tabungan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan tabungan di bawah Rp 100 juta hanya tumbuh 3,6% yoy pada Oktober 2023. Bahkan secara ytd, enam bulan dan tiga bulan sebelumnya, masing-masing turun 1,2%, 0,5% dan 0,1%.
Artinya, makin banyak masyarakat dengan tabungan di bawah Rp 100 juta lebih memilih menggunakan uangnya untuk konsumsi dibandingkan menabung. Bahkan tren penurunan tabungan kelompok ini telah terjadi sepanjang 2023.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, fenomena masyarakat makan tabungan terjadi karena mereka perlu uang untuk membiayai kebutuhan pokok, pangan hingga transportasi.
"Ada korelasi antara kenaikan harga beras, cabai, dan gula terhadap jumlah tabungan yang pertumbuhannya rendah. Sementara itu, dari sisi pendapatan masyarakat terhambat oleh sulitnya mencari pekerjaan yang layak," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (20/12).
Jadi kenaikan kebutuhan pokok dengan pendapatan bulanan tidak berbanding lurus. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), ada gap kebutuhan biaya hidup di Jakarta Rp 14,88 juta, dengan upah minimum provinsi (UMP) hanya Rp 4,9 juta di 2023.
Dengan kondisi ini, diperkirakan tabungan kelompok bawah ini akan tumbuh melambat pada 2024. Namun Bhima memperkirakan, peningkatan tabungan bisa terbantu sedikit dengan adanya uang politik atau serangan fajar tapi sifatnya temporer.
"Sampai 2025, kalau kondisi pendapatan masyarakat menengah bawah masih tergerus inflasi, terutama bahan pangan, masih akan lanjut makan tabungan," ujar Bhima.
Mengantisipasi hal tersebut, Bhima meminta pemerintah memberikan insentif yang lebih besar kepada sektor-sektor berbasis padat karya. Kemudian mengubah formulasi upah minimum sehingga pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
"Selanjutnya, menambah bantalan sosial, terutama bansos tunai, tidak hanya untuk keluarga miskin, tapi juga kelas menengah rentan," kata Bhima.