Ekonomi RI Sulit Naik 7%: Terkendala Biaya Investasi dan Manufaktur
Ekonomi Indonesia masih dibayangi sejumlah tantangan sehingga sulit untuk tumbuh 7%. Sampai 2023 saja, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5,05% atau turun dari realisasi tahun sebelumnya 5,31%, imbas dari pelemahan harga komoditas dan ketidakpastian ekonomi global.
Padahal, Indonesia pernah menorehkan pertumbuhan sampai 10,92% pada 1968 atau awal Orde Baru. Kemudian pada tahun 1994 dan 1995 pernah tumbuh 7,48% dan 8,07%. Namun pasca reformasi, ekonomi domestik hanya mampu tumbuh di bawah 7%.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyebut, dalam dua hingga tiga dekade terakhir, ekonomi Indonesia pernah tumbuh di atas 5% dan bahkan naik hingga 7%.
"Saat itu, salah satu kontributor pertumbuhan tertinggi dari industri manufaktur. Hal ini wajar, karena manufaktur merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap PDB Indonesia," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Kamis (8/2).
Sehingga, dengan semakin tinggi pertumbuhan sektor ini, maka akan semakin tinggi pula potensi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun kondisi ini justru berbalik dalam lima hingga 10 tahun terakhir.
Menurut Yusuf, pertumbuhan sektor manufaktur mengalami perlambatan dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara umum. Hal ini menjadi salah satu faktor kenapa ekonomi domestik sulit tumbuh 7% dalam dua dekade pemerintahan Jokowi.
Adapun yang dimaksud manufaktur merupakan kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang memiliki nilai jual di pasaran. Proses ini melewati langkah dari perakitan hingga terbentuknya produk jadi.
Investasi di Indonesia Kurang Efisien
Selain itu, masalah fundamental ekonomi terkait biaya investasi yang kurang efisien juga menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Salah satunya tercermin dari indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia.
Pada 2021, ICOR Indonesia berada di level 8,16% dan turun menjadi 6,2% pada 2022. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi 1% membutuhkan peningkatan investasi infrastruktur sebesar 6,25% pada 2022.
ICOR ini mencerminkan besaran tambahan kapital (investasi) yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Jika semakin kecil angka ICOR, maka semakin efisien biaya investasinya.
Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia masih tinggi yakni, mulai dari faktor sarana infrastruktur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, daya saing pasar tenaga kerja hingga tingginya biaya logistik.
"Indikator ini menggambarkan mahalnya biaya investasi di Indonesia, termasuk faktor institusi seperti penegakan hukum, penerapan kebijakan yang baik sampai masalah kualitas sumber daya manusia (SDM)," kata Yusuf.
Investor Tidak Melirik Sektor Manufaktur
Tak berbeda, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti faktor struktural. Dia mempertanyakan, kenapa para investor dan pelaku usaha tidak tertarik masuk ke industri manufaktur.
"Karena tingkat ICOR tadi yang relatif tinggi, ICOR di angka 7% pada awal Jokowi menjabat tahun 2015. Jadi kita makin kehilangan daya saing karena biaya investasi terlalu mahal," kata Bhima.
Untuk itu, Bhima menyarankan adanya reformasi secara struktural melalui penguatan industri manufaktur, yang saat ini dikenal dengan program hilirisasi. Namun sayangnya, saat ini hilirisasi masih berkutat pada komoditas.
Akibatnya, hilirasi tidak berkolerasi dengan porsi manufaktur. Padahal pemerintah gencar menggalakkan program hilirisasi, tapi porsi manufaktur terhadap PDB belum bisa di atas 20%, bahkan hanya di kisaran 18%.
"Ini menandakan hilirisasi belum didorong secara masif. Harusnya nikel untuk melengkapi bahan baku baterai, tapi industri baterai di dalam negeri masih belum berkembang," ujar Bhima.
Sehingga ada ketidaksesuaian antara komoditas olahan primer dengan industri perakitan. Menurut Bhima, ada rantai pasok yang terputus dari program perakitan baterai maupun perakitan mobil listrik di Indonesia.
Biaya Investasi RI Terlalu Tinggi
Selain ICOR Indonesia terlalu tinggi, Bhima menyebut tingkat korupsi yang masif di berbagai level birokrasi sehingga ada pungutan liar dan biaya investasi di Indonesia relatif mahal, termasuk biaya logistik.
"Jadi buat apa pemerintah mengeluarkan anggaran yang sangat besar untuk IKN, untuk kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal isu utamanya biaya logistik yang masih mahal, seharusnya ada peningkatan kapasitas, konektivitas untuk pelabuhan, transportasi kereta untuk logistik, itu yang seharusnya diprioritaskan," ujar Bhima.
Dengan begitu, kata Bhima, anggaran belanja infrastruktur tidak mampu menurunkan biaya logistik sehingga ICOR Indonesia masih tinggi. Selain itu, Indonesia juga masih terkendala soal sumber daya manusia (SDM).
Bhima membenarkan, bahwa Indonesia memproleh bonus demografi yang puncaknya terjadi pada 2030. Namun mereka belum bisa mengisi berbagai keterampilan di bidang jasa dengan pendapatan tinggi, karena ada gap keahlian yang lebar.
Jadi untuk mencapai pertumbuhan 7%, menurut Bhima, mesti ada perubahan struktural secara menyeluruh mulai dari birokrasi. Kemudian fokus pada aspek infrastruktur, SDM dan motor pertumbuhan ke depan seperti ekonomi hijau.
"Transisi energi kita mundur ke belakang, harusnya kita makin mendorong komponen surya panel, komponen mikrohidro dan komponen energi terbarukan," kata Bhima.
Sektor Pertanian Tumbuh Melambat
Senada, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut, Indonesia sulit untuk bisa tumbuh hingga 7%. Karena harus didorong oleh sektor utama seperti pertanian, pengolahan dan pertambangan yang saat ini tumbuh melambat.
"Bagaimana bisa tumbuh 6%, sekarang [Indonesia] hanya bisa tumbuh 4%-5%. Pertanian juga turun 3%, sehingga lebih berat. Jangan bicara sektor yang baru, untuk pertanian saja, pemerintah nggak serius," kata Tauhid.
BPS mencatat, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan hanya tumbuh 1,30% pada 2023. Pertumbuhannya masih kalah jauh dengan sektor pertambangan dan penggalian (6,12%), serta sektor transportasi dan pergudangan (13,69%).
Sementara sektor infomasi dan komunikasi tumbuh lebih tinggi yakni 7,59% pada 2023. Bagi Tauhid, kontribusi sektor ini masih kecil terhadap PDB dibandingkan sektor pertanian.
Guna mengantisipasi itu, Tauhid mendesak pemerintah untuk membendung perdagangan bebas agar produk-produk Indonesia bisa memiliki daya saing. Tauhid menilai, kebijakan impor membuat industri dalam negeri tidak berkembang.
"Tidak ada produksi, tidak ada pengumpulan bahan baku dan sub industri [tidak] berkembang. Impor terima jadi aja, sehingga usaha dan uang kita keluar [ke negara lain]," kata Tauhid.