BPKP Audit Temuan Soal Pengusaha Sawit Kemplang Pajak Rp 300 Triliun

Ringkasan
- Hilirisasi nikel adalah proses pengolahan bijih nikel menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah, seperti baterai mobil listrik, yang memiliki dampak positif pada perekonomian negara, seperti peningkatan nilai ekspor dan penciptaan lapangan kerja.
- Indonesia dikenal sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia dengan total cadangan yang mencapai sekitar 23% dari total cadangan global, dan kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia telah berhasil meningkatkan jumlah tenaga kerja dari 1.800 menjadi 71.500 orang.
- Hilirisasi tidak hanya terbatas pada nikel, tetapi juga diterapkan pada berbagai sektor industri lain seperti batubara dan kelapa sawit, dimana proses ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk, memperluas peluang pasar, dan berdampak positif pada perekonomian nasional.

Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah mengantongi sejumlah data pengusaha nakal di sektor kelapa sawit yang tidak membayar pajak. Prabowo akan mengejar pengemplang pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan Rp 300 triliun.
Berkaitan dengan hal itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP membenarkan adanya temuan itu. Meskipun begitu, Kepala BPKP Yusuf Ateh belum bisa merinci detai mengenai hasil temuannya karena masih dalam proses audit.
“Masih dalam proses diaudit sekarang,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Jumat (11/10).
Potensi Pendapatan Negara dari Pengemplang Pajak
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengungkapkan masih banyak penerimaan pajak yang belum terkumpul dari para pengusaha nakal dan sumber lain. “Kebetulan kita menemukan dari pajak-pajak yang tidak terkumpulkan dan sumber-sumber yang belum tergali,” kata Drajad dalam acara Katadata Forum bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (10/9).
Drajad mengatakan pajak-pajak yang belum terkumpulkan itu bisa untuk menambah kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN pada 2025. Diketahui, alokasi belanja negara pada 2025 mencapai Rp 3.613,1 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.693,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 919,9 triliun.
“Rencananya belanja negara di level Rp 3.600 triliun, tapi yang kita butuhkan itu minimal Rp 3.900 triliun. Jadi kurang Rp 300 triliun,” ujar Drajad.
Kekurangan pajak itu akan diperoleh dari tiga sumber. Pertama dari kasus-kasus pajak yang sudah inkrah. Dalam kasus tersebut terdapat wajib pajak yang kalah di pengadilan dan tidak bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) namun belum disetor ke negara.
Kedua, praktik kecurangan pajak dengan melakukan manipulasi atau transfer pricing. Ini juga akan menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang akan diincar Prabowo.
Adapuan transfer pricing adalah penentuan harga yang sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi yang dilakukan antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.
“Jadi sudah tidak ada lagi peluang mereka, Mahkamah Agung sudah memutuskan selesai, tapi mereka tidak bayar. Ada yang 10 tahun belum bayar, ada yang 15 tahun belum bayar. Itu jumlahnya juga sangat besar,” ujar Drajad.
Ketiga, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo sebelumnya mengungkapkan sejumlah pengusaha nakal yang tidak melunasi pembayaran pajak. Pemerintah ingin yang semua pihak memenuhi kewajiban pajak.
Bahkan, Prabowo sudah memegang data yang mengungkap indikasi pengusaha nakal yang tak bayar pajak. Data tersebut diperoleh langsung dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan pengusaha dari industri perkebunan kelapa sawit.
“Dikonfirmasi dari Kementerian LHK ada jutaan hektare kawasan hutan di okupasi liar oleh pengusaha kebun sawit nakal ternyata sudah diingatkan tapi sampai sekarang belum bayar,” kata Hashim, Senin (7/10).