PPN 12% Dinilai Tidak Mampu Dongkrak Rasio Pajak, Ini Alasannya
Pemerintah sudah menetapkan kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% akan diterapkan mulai 1 Januari 2025 untuk barang premium atau mewah. Sejumlah ekonom menilai kebijakan ini tidak mampu mendongkrak rasio pajak Indonesia pada 2025.
“Terkait PPN 12% sebetulnya tidak besar kalau mau bicara kenaikan rasio pajak,” kata Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky kepada Katadata.co.id, Rabu (18/12).
Riefky menjelaskan, target penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% juga tidak terlalu besar. Apalagi sasaran kenaikan PPN ini hanya ke barang yang berkategori mewah.
“Ini lah yang kemudian yang membuat potensi kenaikan PPN terhadap rasio pajak berlaku saat ini terhadap rasio pajak tidak signifikan,” ujar Riefky.
Senada dengan Riefky, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar juga menilai kenaikan PPN 12% tidak bisa mendongkrak rasio pajak. Fajry mengatakan, potensi penerimaan pajak dari kenaikan PPN 12% hanya berkisar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun.
“Kalau kita rasiokan dengan nilai produk domestik bruto (PDB), kenaikan tersebut meningkatkan rasio pajak kurang dari 0,5%.” Kata Fajry.
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan rasio pajak pada tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mencapai 10,09% hingga 10,29%. Pemerintah juga menargetkan bisa meraup Rp 75 triliun dari kenaikan PPN.
Hanya Tambah Penerimaan Pajak
Meskipun tidak mampu mendongkrak rasio pajak secara signifikan, Fajry mengungkapkan kebijakan kenaikan PPN mampu menambah penerimaan pajak. Apalagi, pemerintah membutuhkan tambahan Rp 327,57 triliun untuk memenuhi target penerimaan pajak 2025.
“Dengan kata lain, kenaikan tarif PPN membantu memenuhi tambahan penerimaan pajak tahun depan hingga 25%,” kata Fajry.
Namun, hal tersebut bukannya tanpa tantangan. Fajry mengatakan pemerintah tak hanya memerlukan sumber penerimaan yang besar, namun juga cepat.
Menurutnya, perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, peningkatan administrasi dan lainnya mampu meningkatkan penerimaan tapi butuh waktu karena ada beberapa prosedur yang perlu dilalui.
“Inilah alasan, saya melihat mengapa pemerintah ngotot untuk menaikan tarif PPN,” ujar Fajry.
Perlu Bidik Sektor Digital
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono menilai pada dasarnya pemerintah juga tidak mematok kenaikan rasio pajak pada 2025 terlalu besar tahun ini.
“Target rasio Pajak di 2025 sebesar 10,09% hingga 10,29% dari PDB. Target batas bawah tersebut ternyata lebih rendah dari rasio pajak tahun ini 10,12%,” kata Prianto.
Prianto menilai, pertimbangan utamanya karena Ditjen Pajak Kementerian Keuangan belum mampu mengoptimalkan pengenaan pajak atas transaksi digital. Menurutnya, pergeseran model transaksi ke arah digital belum diimbangi oleh sistem perpajakan yang dikelola Ditjen Pajak.
Tak hanya itu, Prianto mengatakan penyebab lainnya juga dikarenakan fluktuasi harga komoditas. “Ini meningkatkan risiko penerimaan pajak di 2025,” ujar Prianto.