Co-Firing Batu Bara Dituding Akal-akalan untuk Perpanjang Umur PLTU
Praktik pencampuran biomassa dengan batu bara atau co-firing di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dinilai sebagai upaya untuk memperpanjang waktu operasional pembangkit penuh emisi tersebut sekaligus menghindari aturan pemensiunan dini.
Menurut pemerhati pembangunan berkelanjutan, energi terbarukan dan kebijakan publik, Ricky Amukti, praktik co-firing mayoritas diterapkan di PLTU berusia tua. Kondisi tersebut akan berimbas pada gagalnya proyek transisi energi.
"Dengan adanya co-firing biomassa, maka PLTU dianggap masih relevan. Akhirnya umurnya akan terus bertambah. Padahal Indonesia sudah punya target untuk pensiun PLTU," kata Ricky kepada Katadata.co.id, Jumat (8/7).
Ricky menyebut, keberlangsungan PLTU sangat berkaitan dengan industri batu bara sebagai pemasok bahan bakar. Adanya keterkaitan bisnis batu bara dengan PLTU menyebabkan bahan bakar fosil itu akan terus dipertahankan sebagai sumber listrik PLN.
"Co-firing layaknya justifikasi bahwa mereka tidak menggunakan batu bara 100% sehingga PLTU masih dianggap relevan. Dan juga oligarki yang secara menguasai pemerintahan itukan bisnisnya tidak lepas dari batu bara," sambung Ricky.
Menurut catatan dari Kementerian ESDM, sejauh ini PLN sudah melaksanakan ujicoba co-firing pada 26 PLTU dengan porsi biomassa 1-5%. Mereka menyatakan, kapasitas total listrik yang dihasilkan dari co-firing PLTU PLN mencapai 18 gigawatt (gw) pada tahun 2024.
Adapun bahan biomassa yang digunakan seperti seperti wood pellet (pellet kayu), cangkang sawit dan sawdust (serbuk gergaji). Metode co-firing diklaim dapat menurunkan emisi karbon karena mencampur batu bara dengan biomassa untuk pembangkit listrik.
Dari 26 lokasi pelaksanaan ujicoba PLTU, sebanyak 13 PLTU telah menerapkan implementasi co-firing biomassa secara komersial. Adapun PLTU telah menerapkan co-firing diantaranya PLTU Painton (800 mw), PLTU Rembang (630 mw), PLTU Suralaya (1600 mw), PLTU Pelabuhan Ratu (1050 mw) serta PLTU Lontar (945 mw).
Ricky menjelaskan bahwa Indonesia mampu menghasilkan energi listrik dari biomassa tanpa harus menjadikannya bahan campuran batu bara. Hal tersebut bisa dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
Eks Manajer Riset Traction Energy Asia tersebut menyatakan pemerintah lebih memilih skema biomassa sebagai pelengkap bahan bakar ketimbang sebagai pengganti batu bara. "Kenapa harus jadi co-firing, kenapa gak jadi pembangkit independen. Praktik co-firing. hanya akan memperpanjang umur PLTU," kata Ricky.
General Manager PT PLN Unit Induk Tanjung Jati B Hari Cahyono menjelaskan bahwa implementasi co-firing di PLTU hanya bisa diterapkan pada teknologi boiler PLTU yang mengonsumsi batu bara kalori rendah di kisaran 4.000 kcal per kg hingga 4.200 kcal per kg.
Sebagai informasi, boiler adalah peralatan utama pada PLTU yang berfungsi mengubah air dari fasa cair menjadi fasa uap yang memiliki tekanan dan suhu tertentu untuk menggerakan turbin. "Prioritas PLTU untuk implementasi co-firing adalah yang menggunakan batu bara kalori rendah dan medium," kata Hari.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Service Reform (IESR), Marlistya Citraningrum mengatakan satu-satunya cara untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU adalah melakukan pensiun dini PLTU.
"Ganti dengan energi terbarukan. Paksa PLTU yang seharusnya umurnya 40 tahun, kita paksa pensiun di umur 15 sampai 20 tahun. Langsung disetop operasinya, supaya energi terbarukan bisa langsung masuk mengganti," kata Citra.
Dia menambahkan, metode co-firing tak berpengaruh terhadap penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari proses kerja PLTU. Selain pengurangan emisi yang tak terlalu signifikan, metode co-firing harus memperhitungkan sisi suplai bahan baku yang belum cocok dengan spesifikasi mesin PLTU dan harga yang belum ekonomis.