Pemerintah Masih Bahas Porsi Pengembangan EBT dari Hasil Pajak Karbon
Pemerintah bakal menerapkan aturan mengenai pajak karbon minimal Rp 30 per kilogram setara karbondioksida (CO2e) mulai tahun depan. Hal ini seiring dengan disahkannya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menilai penerapan pajak karbon diharapkan akan mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).
Meski demikian, menurut Dadan besaran alokasi untuk pengembangan EBT dari hasil pajak karbon masih dalam tahap pembahasan. "Masih akan dibahas di Pemerintah," kata Dadan kepada Katadata.co.id, Selasa (12/10).
Menurut dia implementasi dari aturan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap, sembari mendorong penyediaan energi bertransformasi. Misalkan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dapat menurunkan tingkat emisi di bawah batas yang akan ditetapkan pemerintah.
Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya mengatakan tak hanya mengenai alokasi besaran untuk pengembangan EBT. Namun aturan lain seperti rancangan peraturan presiden mengenai nilai ekonomi karbon (NEK) juga masih dinanti.
"Sehingga kami belum bisa berkomentar banyak. Namun kebijakan penerapannya pastinya mampu mendorong pengembangan EBT mengingat semangat pembentukan cap and tax scheme ini adalah pengendalian peningkatan emisi gas rumah kaca," katanya.
Sebelumnya, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai ada beberapa catatan yang perlu digaris bawahi soal mekanisme pajak karbon tersebut. Misalnya, hanya dengan membayar pajak karbon, perusahaan merasa telah andil dalam pengurangan emisi.
Padahal pencemaran yang dilakukan terus jalan, emisi karbonnya tetap naik. Kemudian terkait penggunaan hasil pajak karbon juga harus transparan. Peruntukannya harus jelas meski bentuknya pajak bukan cukai.
Hasil studi Fraser institute menunjukkan sebanyak 74% penggunaan dana hasil pajak karbon di berbagai negara justru lari ke belanja umum yang tidak berkorelasi dengan penurunan emisi karbon. Hanya 12% penerimaan pajak karbon yang dialokasikan khusus untuk lingkungan hidup.
Dalam UU HPP bab Pajak Karbon terdapat klausul "Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim". "Kata 'dapat' itu bisa jadi pasal karet yang sangat fleksibel. Misalnya hanya 10% untuk earmarking subsidi ke EBT sudah dianggap memenuhi syarat UU HPP. Jadi sangat longgar," kata Bhima.
Oleh sebab itu, dia mengimbau agar masyarakat mengawasi implementasi dari kebijakan ini. Mengingat masih ada celah penerimaan pajak karbon dialokasikan untuk sektor yang tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi. Simak databoks berikut: