Ekonom: Pajak Karbon PLTU Berpotensi Melonjakkan Tarif Listrik

Image title
8 Oktober 2021, 14:44
pajak karbon, pltu, batu bara, pembangkit listrik
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat.

Rencana pemerintah mengenakan pajak karbon pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai tahun depan berpotensi mengerek tarif listrik. Pasalnya, mayoritas pasokan listrik di Indonesia masih mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara ini.

Artinya, jika pajak karbon diterapkan pada PLTU, maka biaya pokok penyediaan (BPP) listrik juga akan turut naik, yang kemudian akan mendongkrak naik tarif listrik.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy mengatakan, berkaca pada penerapan pajak karbon di beberapa negara, maka, pajak karbon diterapkan pada bahan bakar utama yang memiliki emisi karbon tinggi seperti batu bara, solar dan bensin.

Sementara untuk pengenaan emisi, umumnya dikenakan kepada industri pulp and paper, industri semen, pembangkit listrik dan petrokimia. Namun, beberapa bahan bakar utama dan industri tersebut merupakan bahan bakar yang masih umum digunakan di Indonesia.

Sehingga, sektor-sektor tersebut lah yang kemudian akan terdampak relatif lebih besar dengan rencana penerapan pajak karbon. Akhirnya secara terpaksa, sektor-sektor ini harus beralih dalam mendorong usaha mereka ke arah yang lebih ramah lingkungan.

"Berdasarkan pengalaman dari penerapan pajak karbon di Australia, kebijakan ini berdampak pada meningkatnya pengangguran di sektor tambang dan meningkatnya biaya listrik. Sehingga, penerapan pajak karbon menjadi konsekuensi yang perlu dimitigasi oleh pelaku usaha dan pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (8/10).

Oleh karena itu perlu beberapa langkah untuk mengantisipasi potensi meningkatnya biaya listrik. Misalnya melalui penyaluran subsidi yang tepat sasaran dan pemerintah harus memacu penggunaan energi baru terbarukan (EBT) secara bertahap.

Sementara, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira menilai dalam masa transisi energi, ekosistem menjadi hal utama yang perlu disiapkan terlebih dulu. Sehingga tidak mengulang kesalahan Cina yang akhirnya terjerat dalam krisis energi.

"Pajak karbon dibutuhkan sebagai instrumen fiskal untuk memberikan disinsentif sekaligus insentif bagi perusahaan atau perorangan yang berkontribusi terhadap emisi karbon. Hal ini sudah sesuai dengan komitmen global," ujarnya kepada Katadata.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...