Potensinya Melimpah, RI Bisa Menjadi Pusat Industri Panas Bumi Dunia
Indonesia diyakini akan menjadi pusat industri panas bumi berskala dunia di masa depan, dilihat dari besarnya potensi sumber daya energi baru terbarukan (EBT) ini.
Presiden Direktur PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Ahmad Yuniarto, mengatakan untuk mencapai target tersebut Indonesia tidak bisa hanya tinggal diam, melainkan harus ada upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi panas bumi.
Dengan menjadi pusat industri panas bumi dunia, secara otomatis ketahanan energi yang ditopang oleh panas bumi bisa terwujud. Panas bumi menjadi salah satu energi baru terbarukan yang paling relevan untuk menjadi sumber daya energi utama untuk memenuhi kebutuhan nasional.
“Indonesia sangat potensial untuk panas bumi karena melimpahnya sumber daya. Listrik yang dihasilkan dari panas bumi juga sangat stabil dan masih ada ruang agar biayanya kompetitif dan energi panas bumi sangat kompeten sebagai base load pembangkit listrik untuk sistem kelistrikan apapun,” ujarnya, Senin (16/8).
Menurut data ThinkGeoEnergy, sebagai negara yang berada di kawasan cincin api (ring of fire), Indonesia menguasai 40% cadangan panas bumi dunia. Kementerian ESDM telah menargetkan pengembangan panas bumi mencapai 9,3 GW pada 2035.
Indonesia juga memiliki kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbesar kedua di dunia yaitu mencapai 2.133 megawatt (MW) pada 2020. Jumlah tersebut menyumbang 3,01% pembangkit listrik nasional.
Selain itu, pengembangan panas bumi juga selaras dengan upaya penurunan emisi karbon. Namun Yuniarto menilai untuk bisa mengejar target dekarbonisasi, pengembangan panas bumi tidak bisa dilakukan biasa-biasa saja seperti sekarang. Perlu ada akselerasi ekstra dari dari pemerintah selaku regulator, tidak hanya mengandalkan pelaku usaha.
Green hydrogen, misalnya, yang menjadi produk lanjutan dari panas bumi, pengembangannya bisa memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang luar biasa. Namun pengembangannya membutuhkan dana yang tidak sedikit sehingga ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh PGE.
“Kita bisa jadikan geothermal sebagai green economy memberikan efek terhadap Indonesia. Kondisi itu memberikan value lebih banyak ke Indonesia hanya saja bisakah kita memproyeksikan green hydrogen dengan biaya efisien,” kata dia.
PGE sudah menjalin koordinasi dengan beberapa Kementerian untuk pemanfaatan green hydrogen. PGE juga akan mencari mitra strategis untuk pengembangan bisnis baru ini. Tidak hanya untuk bisnis panas bumi mitra nanti juga diharapkan bisa membawa teknologi serta pendanaan untuk pengembangan green hydrogen.
Hidrogen hijau diyakini bisa dikembangkan berdampingan dengan potensi panas bumi karena cadangannya juga di sekitar cadangan panas bumi. Indonesia yang memiliki cadangan panas bumi besar tentu memiliki keuntungan besar. “Ke depan, green hydrogen tidak hanya diminati dari dalam tapi juga dari luar negeri,” katanya.
Hingga saat ini, PGE berada di peringkat pertama dalam pengelolaan panas bumi nasional dengan kapasitas terpasang 1.887 megawatt (MW). Sebesar 1.205 MW dikelola bersama mitra dan 672 MW dioperasikan sendiri oleh PGE.
Dalam RUPTL pengembangan panas bumi diharapkan mampu mencapai 5.444,5 MW pada tahun 2030 dengan rincian kapasitas terpasang PLN 1.077,5 MW dan IPP sebesar 4.367 MW.
Dalam 10 tahun ke depan, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang energi bersih yang bersumber dari panas bumi hingga dua kali lipat lebih dari yang saat ini dioperasikan sendiri oleh PGE. Pada 2030, PGE menargetkan dapat meningkatkan kapasitas terpasang yang dikelola langsung PGE menjadi 1.540 MW.
“Ini artinya di tahun 2030 PGE berpotensi untuk bisa memberikan kontribusi potensi pengurangan emisi sebesar 9 juta ton CO2 per tahun, dan menargetkan menjadi tiga besar perusahaan produsen panas bumi di dunia,” kata Yuniarto.
Sementara itu, Hendra Yu Tonsa Tondang, Vice President Geothermal PT PLN (Persero), mengungkapkan masalah krusial dalam pengembangan panas bumi adalah adanya gap tarif listrik dan keekonomian proyek. Hal itu sangat menentukan untuk kelangsungan panas bumi.
Menurut dia, ada beberapa instrumen untuk mengisi atau menutup gap tersebut, antara lain penerapan carbon tax, menurunkan biaya pokok produksi listrik di Indonesia Timur, insentif belanja modal, government drilling, green/clean energy fund dan penerapan teknologi yang tepat sehingga bisa meningkat success ratio proyek. “Kita tahu sekarang pemerintah sedang melakukan eksplorasi program, goverment drilling,” kata Hendra.
Namun tarif listrik EBT sampai sekarang masih tinggi ketimbang fosil. Untuk itu campur tangan pemerintah masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pemanfaatan EBT secara maksimal. “Kita membutuhkan kebijakan dari pemerintah, khususnya tarif. Ketika tarif lebih tinggi dari BPP akan meningkatkan subsidi juga kan,” ujarnya.