Rupiah Berpotensi Melemah Terimbas Rencana Kenaikan Suku Bunga Fed
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,12% ke level Rp 14.319 per dolar di pasar spot pagi ini. Rupiah diramal berbalik melemah di tengah masih cukup kuatnya sentimen pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (Fed).
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan penguatan ke Rp 14.307 per dolar AS pada pukul 09.15 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan pekan lalu di Rp 14.336 per dolar AS. Sementara mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi.
Penguatan terjadi pada won Korea Selatan 0,02%, peso Filipina 0,15%, rupee India 0,11%, yuan Cina 0,08% dan ringgit Malaysia 0,03%. Sementara yen Jepang melemah 0,17% bersama dolar Taiwan 0,04% dan baht Thailand 0,1%. Sementara dolar Hong Kong dan Singapura kompak stagnan.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah di rentang Rp 14.360-14.380 pada hari ini, dengan potensi penguatan di level Rp 14.320. Pelemahan masih dibayangi rencana kenaikan suku bunga acuan Fed.
"Kini pasar mengantisipasi kemungkinan kenaikan empat kali tahun ini dari sebelumnya tiga kali. Pasar juga sudah mengantisipasi kemungkinan kenaikan 50 basis poin di bulan Maret dari sebelumnya 25 basis poin," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (24/1).
Fed memang sudah memberi sinyal akan adanya kenaikan bunga acuan yang lebih cepat di tahun ini. Langkah pengetatan moneter ini karena kenaikan inflasi yang terus menanjak dan telah menyentuh rekor tertingginya dalam empat dekade.
Fed dalam rapat pembuat kebijakan bulan lalu telah memutuskan mempercepat tapering off alias pengurangan stimulus yang direncanakan berakhir Maret 2022. Setelah itu, Fed diperkirakan akan mulai menaikkan bunga acuannya.
Karena itu, Ariston mengatakan pasar juga masih akan menanti pertemuan pembuat kebijakan Fed yang digelar pada Rabu-Kamis pekan ini. Pasar akan mencermati petunjuk lebih lanjut yang akan disampaikan Fed terkait langkah pengetatan moneter di pertemuan mendatang.
"Pasar mengantisipasi Fed bakal menyuarakan indikasi kebijakan yang lebih hawkish atau mendukung percepatan pengetatan moneter di AS untuk mengendalikan kenaikan inflasi," kata dia.
Selain dibayangi kenaikan bunga acuan Fed, Ariston mengatakan pelemahan rupiah hari ini juga banyak dipengaruhi prospek penanganan pandemi di dalam negeri.
"Pasar mewaspadai perkembangan varian Omicron. Perubahan kebijakan pembatasan aktivitas yang lebih ketat bisa memberikan sentimen negatif ke rupiah," kata dia.
Dari data Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), hingga Minggu (23/1), 1.255 kasus positif Omicron ditemukan di Indonesia. Angka ini bertambah dari jumlah yang dilaporkan Kementerian Kesehatan pada Jumat (21/1) lalu yakni 1.161 kasus. Ini menjadikan kasus Omicron di Indonesia yang tertinggi di Asia Tenggara.
Meski dibayangi risiko pelemahan akibat pengetatan moneter Fed dan penyebaran Omicron, sentimen perbaikan di pasar saham bisa menahan pelemahan rupiah. Adapun IHSG ditutup di level 6.726 pada perdagangan akhir pekan lalu, menguat 99,5 poin atau 1,5%.
"Membaiknya sentimen pasar di pasar saham Indonesia, dimana IHSG mendekati level all time high 6.754, sehingga bisa menahan pelemahan rupiah," kata Ariston.
Selain terdongkrak membaiknya kinerja pasar saham, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto memperkirakan sentimen positif terhadap rupiah juga berasal dari langkah normalisasi moneter Bank Indonesia (BI). "Diharapkan langkah BI ini bisa meredakan pasar," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Normalisasi likuiditas dilakukan dengan menaikkan secara bertahap GWM (Giro Wajib Minimum) Rupiah. Kenaikan GWM untuk Bank Umum Konvensional (BUK) sebesar 150 bps pada Maret, 100 bps di bulan Juni serta 50 bps pada September.
BI juga akan menaikkan GWM untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah yang saat ini ditetapkan sebesar 3,5%. Kenaikan masing-masing 50 bps pada Maret, Juni, dan September.