Gerakan Pangan Lokal untuk Kedaulatan Pangan

Angga Dwiartama
Oleh Angga Dwiartama
18 Januari 2024, 07:20
Angga Dwiartama
Katadata/Bintan Insani
Angga Dwiartama, Dosen Biomanajemen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB

Meskipun demikian, ketahanan pangan tidak bisa diartikan sebagai kecukupan atas pangan saja. Menurut Michael Carolan (2012), seorang sosiolog pertanian dan pangan di Amerika Serikat, definisi yang lebih luas dari ketahanan pangan adalah terbangunnya ketahanan masyarakat. Hal ini mencakup kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan hidup melalui pangan, yang dalam hal ini juga merujuk pada ketahanan pangan berbasis komunitas (community food security).

Atas dasar logika tersebut, daripada membangun potensi pangan dengan mengembangkan lumbung pangan yang masif, potensi sistem pangan lokal bisa menjadi bentuk ekonomi alternatif yang lebih masuk akal. Sistem ini digerakkan oleh masyarakat sipil dan komunitas di tingkat lokal.

Contoh kasus di metropolitan Bandung (Kota Bandung dan kabupaten/kota di sekitarnya). Seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan pangan lokal di berbagai kota besar di negara maju, Kota Bandung sedang mengalami proses pertumbuhan serupa. Berbagai gerakan akar rumput, bisnis-bisnis sosial, serta komunitas minat dan hobi yang terkait dengan penyediaan pangan sehat, lokal, dan ramah lingkungan tumbuh subur di Kota Bandung.

Kota Bandung bisa dilabeli kota kreatif yang dapat menjadi model dalam pemenuhan ketahanan pangan di tingkat perkotaan di Indonesia, bahkan di dunia. Meskipun, gerakan-gerakan yang ada masih tumbuh sporadis dan tidak bersinergi satu sama lain.

Sejumlah literatur telah mengindikasikan bahwa sistem pangan lokal merupakan salah satu solusi untuk memitigasi dampak dari sistem pangan global. Alih-alih mendorong petani untuk menanam produk-produk ekspor bernilai tinggi untuk bersaing dengan produk impor. Sistem pangan lokal mengisyaratkan dikuatkannya ekonomi lokal melalui produksi pangan yang berkualitas untuk masyarakat itu sendiri.

Penting untuk dicatat bahwa dalam kondisi ekonomi pasar bebas saat ini, produksi pangan lokal, khususnya di daerah perkotaan (urban agriculture), mungkin tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan di Indonesia. Meskipun demikian, sistem pangan lokal perlu diposisikan sebagai alternatif dan komplemen dalam mengawal dampak-dampak negatif dari sistem pangan global dan perdagangan bebas, serta membangun ketahanan melalui pangan bagi masyarakat.

Beberapa Bentuk Inisiatif Pangan Lokal dan Alternatif

Di banyak kota dan desa di belahan dunia, sistem pangan alternatif/lokal tumbuh dalam berbagai bentuk. Beberapa contoh aktivitas pangan lokal tersebut meliputi: pasar petani (farmers’ market), pertanian berbasis komunitas (community-supported agriculture), dan kebun komunitas (community gardens). Selain itu, ada pertanian kota, skema kotak sayur (vegetable box scheme), permakultur, pertanian organik, dan lain sebagainya.

Beberapa bentuk gerakan pangan alternatif yang mendunia mencakup gerakan organik yang diusung oleh IFOAM (Gerakan Pertanian Organik Dunia) sebagai respons terhadap kerusakan lingkungan akibat Revolusi Hijau. Di luar itu, dikenal pula gerakan perdagangan berkeadilan (fair trade movement) sebagai bentuk alternatif dari jalur distribusi global yang bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan petani di tingkat lokal.

Kemudian, Slow Food Movement yang bertujuan melestarikan makanan tradisional, mengembalikan rasa kebersamaan (conviviality) di dalam memproduksi dan mengkonsumsi makanan lokal dan sehat, serta mendorong petani untuk mempraktekkan pertanian yang lebih sesuai dengan karakteristik sosio-ekologis lokal.

Farmers’ market merupakan alternatif terhadap pasar modern yang memutus hubungan antara produsen dan konsumen sedangkan permakultur mengedepankan desain lansekap pertanian yang sifatnya lebih permanen dan sesuai dengan karakteristik ekosistem lokal. Adapun Community-supported Agriculture (CSA) mendorong konsumen membeli pangannya langsung dari petani dengan membayar di awal musim tanam untuk produk yang ingin mereka pesan.

Gerakan-gerakan tersebut tumbuh dan bersinergi satu sama lain sehingga titik tempat beberapa kota di dunia mengadopsi gerakan-gerakan ini sebagai bagian dari kebijakan kota. Misalnya, di kota-kota seperti Bristol (Inggris), Cardiff (Inggris), Roma (Italia), Vancouver (Kanada), dan Santa Barbara (Amerika Serikat).

Di Indonesia, dan Bandung khususnya, belum terlihat upaya yang terintegrasi untuk mewujudkan sistem pangan lokal tersebut. Meskipun demikian, langkah-langkah proaktif telah dilakukan oleh pemerintah kota, pengusaha dan wirausahawan sosial (social entrepreneurs), serta masyarakat melalui gerakan akar rumput untuk mempersiapkan hal ini.

Kebun organik umumnya tumbuh di kawasan penyangga Kota Bandung, khususnya di daerah subur dataran tinggi seperti Lembang, Parongpong, dan Ciburial (di utara Bandung) atau Banjaran, Ciwidey, dan Pangalengan (di selatan Bandung). Setiap kebun memiliki cerita yang unik dan ini mendasari bagaimana gerakan pangan lokal ini dibangun.

Dari sejumlah pemilik kebun organik, hampir seluruhnya adalah masyarakat kota yang tidak memiliki pengalaman bertani sama sekali. Di satu sisi, para petani ini harus belajar ekstra untuk bisa mencapai hasil pertanian yang baik, terkadang melalui proses jatuh bangun dan berbagai pengalaman pahit.

Di sisi lain, para petani ini layaknya kertas putih yang belum ‘dikotori’ oleh cara bertani konvensional gaya Revolusi Hijau yang menerapkan pupuk dan pestisida secara intensif. Mereka belajar dari berbagai sumber: buku, internet, YouTube, atau berguru ke petani organik lain yang lebih berpengalaman.

Salah satu petani organik besar di daerah Cikalong Wetan, Bandung Barat, menjadi rujukan bagi banyak petani organik lainnya di sekitar Bandung. Pak Nahum, petani organik tersebut, semula adalah manajer di sebuah perusahaan multinasional, yang sudah bekerja selama puluhan tahun.

Ia lantas memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan memulai hidup baru sebagai petani organik. Hal ini juga dilandasi kesadaran bahwa pangan yang diperoleh dari pertanian konvensional di Indonesia dipenuhi oleh racun (pestisida dan lainnya) yang membuat keluarga dan teman-temannya menderita banyak penyakit.

Menurut Nahum, cara bertani saat ini layaknya meracuni tanah dengan narkotika, membuat tanah pertanian menjadi sangat bergantung pada pupuk sintetis dan sedikit demi sedikit ‘membunuh’ tanah tersebut.

Nahum dan kelompoknya kemudian merevolusi cara bertani di Cikalong Wetan melalui konsep pertanian organik. Nahum dan kelompoknya kini memasok sayur-mayur kepada banyak konsumen di daerah Jakarta dan sekitarnya. Jika ada banyak “Nahum” di Indonesia dan kerja mereka dikoordinasikan secara tepat dan utuh, ini akan dapat membangun ketahanan pangan untuk seluruh rakyat Indonesia. Keuntungan lainnya, bumi dan lingkungan akan tetap lestari.

Halaman:
Angga Dwiartama
Angga Dwiartama
Dosen

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...