(Baca: Sri Mulyani Optimistis Regulasi Insentif Pajak Jumbo Segera Dirilis)

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan aturan ketenagakerjaan memang perlu dirumuskan kembali, agar pengusaha mendapat perkiraan jelas akan bisnisnya ke depan. Dari sisi penetapan upah, saat ini formulasi upah menggunakan komponen inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, beberapa sektor sebenarnya tidak membutuhkan itu. "Seperti industri tekstil, usaha mereka bisa saja terdampak perang dagang meski inflasi dalam negeri aman," kata Tauhid.

Perbaikan aturan seharusnya bukan hanya dari sisi pengusaha, pekerja pun perlu menjadi perhatian. Dia mencontohkan serikat buruh di banyak negara tampil sebagai organisasi yang kuat dan tidak seperti di Indonesia yang terpecah-pecah. "Jadi harus setara kepentingannya," kata dia 

Tauhid berharap pemerintah bisa memetakan sektor padat karya yang dapat dikembangkan untuk menyerap banyak tenaga kerja. Dia menyebut sektor manufaktur seperti tekstil, makanan minuman, elektronik, hingga alas kaki merupakan sektor yang perlu disasar.

Di perkebunan, sawit dan karet dapat menjadi prioritas. Begitu juga perikanan tangkap yang seharusnya dapat digarap tenaga kerja lokal, usai pelaksanaan kebijakan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing). Masalahnya, saat ini masih minim Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat dipenuhi untuk kebutuhan industri.

Untuk sektor pertambangan, Tauhid meminta pemerintah membuat kebijakan vokasi yang dapat menyiapkan tenaga kerja dalam waktu cepat. Ini penting agar keberadaan tenaga kerja asing dapat digantikan dan terbatas pada posisi tertentu sesuai aturan, seperti manajer atau direksi. "Seperti di Morowali. Agar buruh terserap baik, perlu transisi," katanya.

(Baca: Sri Mulyani Janji Batasi Tenaga Kerja Asing)

Usulan Revisi UU Ketenagakerjaan Lainnya

Hariyadi juga menambahkan usulan lain yang perlu dimasukkan dalam revisi aturan ketenagakerjaan. Beberapa di antaranya soal pemogokan kerja hingga fleksibilitas waktu kerja. Namun, usulan ini tidak semuanya disampaikan saat pertemuannya dengan Jokowi. 

Secara khusus dia menjelaskan dalam Pasal 77 UU 13, jam kerja saat ini diatur 40 jam dengan dua format dalam seminggu. Pertama adalah tujuh jam untuk enam hari kerja, serta delapan jam untuk lima hari kerja. Saat ini pekerja berusia muda sudah tak menginginkan waktu kerja yang kaku, lantaran mengedepankan fleksibilitas dan hasil yang dicapai. Pengusaha pun dibuat repot dalam merekrut para pekerja baru.

(Baca: Tren Pekerja Lepas 'Gig Workers' Berpotensi Menambah Pengangguran)

Mirah juga memberi masukan agar soal tenaga lepas alias outsource dibahas lebih jelas dalam revisi UU 13. Ini karena outsource hanya mengandalkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 yang membatasi lima jenis pekerjaan dari pekerja lepas. Begitu juga pekerja kontrak yang perlu dilindungi dalam revisi aturan ke depannya. "Banyak buruh yang seumur dia bekerja, kontrak terus," ujarnya.

Status pekerja bisnis online hingga yang menggantungkan nafkahnya pada model kemitraan juga perlu dimasukkan dalam perbaikan payung hukum tenaga kerja. Ini sangat relevan dengan revolusi industri 4.0 yang digaungkan oleh pemerintah saat ini.

Di luar itu, Tauhid menambahkan hal yang juga penting adalah meningkatkan produktivitas pekerja di tengah-tengah upah yang merangkak naik. Apabila pemerintah lengah, maka akan banyak investor yang kabur ke negara lain yang mampu memberikan upah lebih kompetitif. "Pemerintah juga perlu memberi suasana kondusif dalam hubungan industrial," kata Tauhid.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement