Lalu, India juga mengalami kekurangan pasokan batu bara. Padahal aktivitas ekonomi di negara itu mulai pulih usai dihantam gelombang kedua pandemi corona pada pertengahan tahun ini. 

Para ahli mengatakan Eropa akan mengalami pemadaman listrik di bulan-bulan musim dingin. Pabrik-pabrik di Tiongkok dapat berhenti beroperasi. Semua skenario ini akan memperlambat momentum pemulihan ekonomi di tengah pandemi. Inflasi diperkirakan akan melonjak. 

Ekonom OCBC Bank Howie Lee mengatakan krisis energi akan memliki efek beriak di seluruh dunia. “Banyak negara sedang bergulat dengan biaya input yang lebih tinggi,” katanya. 

Singapura sejak Juli lalu telah menaikkan tarif listriknya sekitar 3,8%. Ini baru listrik. Belum lagi harga bahan bakar minyak atau BBM. Malaysia dan Singapura mulai mengalami peningkatan harga bensin. 

Era Supersiklus Komoditas

Kenaikan harga komoditas saat ini sudah terprediksi sebelumnya oleh para analis. Perusahaan investasi Goldman Sachs pada awal tahun ini memprediksi akan terjadi supersiklus (supercycle) baru komoditas.

Pandemi Covid-19 menjadi pemicunya. “Melihat yang terjadi pada 2020, kami percaya kekuatan struktural yang serupa dengan (kenaikan) harga komoditas pada 2000-an dapat terjadi,” tulis hasil analisis Goldman Sachs, dikutip dari Reuters

Pada awal abad ke-21 terjadi lonjakan harga logam karena naiknya permintaan. Beberapa negara sedang melakukan industrialisasi dan urbanisasi, terutama Tiongkok.

Tembaga menjadi pemimpin sektor logam industri. Kenaikannya dari di bawah US$ 2 ribu per ton pada 2000 menjadi US$ 10.190 pada Februari 2011. 

Tren supercycle mereda ketika pasar komoditas memasuki periode bear market selama empat tahun setelah itu. Banyak investor kemudian kecewa dengan sektor ini. 

Supercycle dapat didefinisikan sebagai kenaikan harga selama beberapa dekade yang berasal dari perubahan permintaan. Kejadian serupa pernah terjadi ketika AS masuk ke era industrialisasi pada abad ke-19. Eropa dan Jepang juga mengalaminya pada 1950-an pascaperang.

Pandangan Goldman Sachs ketika itu adalah dunia akan pulih dari krisis Covid-19. Penekanan pada revolusi hijau dan transisi energi akan mengubah sektor komoditas.

Di saat yang sama Tiongkok berkomitmen menjadi netral karbon pada 2060. Negara-negara di Eropa akan mencapai kondisi itu pada 2050. Begitu pula dengan negara maju di Asia. Dorongan dekarbonisasi seiring dengan isi Perjanjian Paris 2015 akan mengubah sektor energi secara global.

Menjadi hijau, Goldman Sachs berpendapat, akan menciptakan siklus belanja modal yang setara dengan kejadian pada 2000-an. Hal ini tidak hanya berdampak langsung pada permintaan komoditas, tapi juga pada pasar tenaga kerja dan negara produsennya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan pengembangan energi terbarukan menjadi awal krisis di Eropa. Indonesia dapat terpengaruh dari kondisi tersebut.

Positifnya, ada peluang bagi negara ini untuk mengekspor batu bara dan LNG dalam jumlah besar. “Negatifnya adalah banyak produk kita tidak bisa diekspor karena sektor industri di Tiongkok tersendat,” ujarnya. Banyak pabrik yang berhenti beroperasi menyebabkan suplai barang ke Indonesia pun terganggu.  

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyimpulkan krisis energi krisis energi saat ini sangat terkait dengan mahalnya energi fosil. Keberadaannya masih penting dan sangat dibutuhkan untuk pembangkit listrik.

“Cerita di Eropa dan Tiongkok itu benang merahnya sama. Keduanya tergantung terlalu tinggi ke pembangkit energi fosil di sistemnya,” ucap Fabby. 

Untuk meninggalkan ketergantungan tersebut tidak akan mudah. Tidak hanya soal waktu, implementasi energi terbarukan memerlukan investasi sangat tinggi. 

Krisis yang terjadi sekarang, menurut dia, seharusnya mendorong Indonesia untuk segera mempercepat transisi energi. Bukan justru menundanya. Pemerintah harus mengeliminasi hambatan dalam pengembangan EBT dan menciptakan iklim investasi yang aman.

Transisi ke energi bersih akan membuat sistem kelistrikan lebih tangguh. Namun, untuk menuju ke arah itu, dunia masih akan bergantung pada bahan bakar fosil. Jadi, benar kata Kermit Si Katak, tidak mudah menjadi hijau. 

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement