Kondisi ini membuat Pertamina tidak bisa memperkirakan berapa banyak selisih biaya yang akan dikompensasi Pemerintah. Pasalnya, Kementerian Keuangan akan menyesuaikan dengan kondisi fiskal sebelum membayarkan biaya kompensasi kepada Pertamina.

“Biasanya yang dibayar tidak sampai 100%. Mungkin cuma Rp 70%-80% saja,” Komaidi menjelaskan.

Kondisi ini diperparah oleh tumpukan utang Pemerintah kepada BUMN yang sudah menggunung. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut total utang Pemerintah kepada Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) saja sudah mencapai Rp 109 triliun. Khusus ke Pertamina, tunggakan yang belum dibayarkan berupa Rp 15,9 triliun sisa kewajiban di 2020 dan Rp 68,5 triliun untuk kewajiban di 2021.

"Inilah yang disebut shock absorber. APBN mengambil seluruh shock yang berasal dari kenaikan harga minyak dan biaya penyediaan listrik," kata Sri Mulyani, Senin (28/3).

Sri Mulyani memprediksi kondisi ini masih akan berlangsung di 2022. Apalagi selama tiga bulan pertama tahun ini, belum ada perubahan tarif listrik dan BBM yang dilakukan oleh PLN dan Pertamina.

Menteri Sri menyebut membuat APBN menghadapi tekanan baru berupa pembengkakan belanja untuk subsidi. Belanja APBN sebelumnya banyak untuk kebutuhan kesehatan, kini beralih untuk menahan kenaikan harga-harga sejumlah kebutuhan masyarakat.

Tantangan 2022

Meskipun Pertamina akhirnya mengerek harga jual Pertamax, tekanan terhadap kinerja keuangan perusahaan diprediksi masih akan berlanjut di 2022. Executive Director Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan harga jual Pertamax di Rp 12.500 sejatinya masih cukup jauh dari harga keekonomian.

Mamit menghitung Pertamina masih harus menanggung selisih harga jual hingga Rp 2.000-Rp 3.000 per liter meskipun harga Pertamax sudah naik.

“Tetapi paling tidak ini [kenaikan harga Pertamax] bisa sedikit meringankan beban Pertamina,” ujarnya saat dihubungi Katadata, Kamis (31/3).

Sepekan sebelum Pertamina memutuskan menaikkan harga Pertamax, Kementerian ESDM sempat membeberkan hitung-hitungan harga jual ideal BBM RON 92 ini. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan harga keekonomian Pertamax pada Maret sebesar Rp 14.526 per liter.

Bahkan jika mengacu pada harga minyak dunia saat ini, Agung memperkirakan nilai jual Pertamax seharusnya bisa lebih tinggi lagi.

“Bisa jadi sekitar Rp. 16.000 per liter. Karena kalau berkepanjangan memang bebannya berat juga baik ke APBN, Pertamina dan sektor lainnya,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (25/3).

Kendati demikian, pengamat menilai harga keekonomian tidak bisa diadopsi begitu saja. Mamit Setiawan mewanti-wanti Pemerintah harus tetap menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga agar BBM tetap terjangkau.

“Pertamina juga harus memperhatikan harga jual RON 92 di SPBU swasta lainnya,” kata Mamit.

Sebagai perbandingan, Shell saat ini menjual Ron 92 (Shell Super) seharga Rp 12.990 per liter sedangkan BP-AKR menjual BBM jenis ini dengan harga Rp 12.500 per liter.

Potensi Migrasi Pertalite

Selain menaikkan harga Pertamax, Pemerintah juga menyepakati untuk menetapkan Pertalite sebagai BBM penugasan. Artinya, Pertamina akan tetap menjaga banderol Pertalite di rentang harga saat ini. Adapun selisihnya akan dibayar oleh Pemerintah.  Hal ini dikhawatirkan bakal memicu migrasi konsumen dari Pertamax ke Pertalite.

Kendati demikian, Mamit menilai dengan harga jual Pertamax Rp 12.500 per liter, potensi migrasi ini semakin kecil. Pasalnya, konsumen Pertamax berasal dari golongan menengah atas.

“Mereka sudah paham manfaat BBM dengan RON lebih tinggi,” kata Mamit.

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia memprediksi kalangan kelas menengah yang rentan berpotensi besar berpindah ke Pertalite.

"Perlu dicatat, kelas menengah yang rentan jumlahnya mencapai 115 juta orang. Sedikit saja penyesuaian harga BBM, mereka langsung turun kelas," kata Bhima.

Bhima menyebut kondisi ini harus diwaspadai Pemerintah. Jika migrasi besar-besaran terjadi, masalah baru berupa beban subsidi yang membengkak tidak bisa dihindari.

"Seolah penyelamatan keuangan Pertamina tapi konsekuensi lain migrasi sebabkan beban APBN ikut bengkak,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu, Abdul Azis Said
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement