BPR Diimpit Keterbatasan dan Gempuran Digitalisasi Perbankan

Intan Nirmala Sari
18 Juli 2022, 12:10
BPR, bank, perbankan, kredit, digitalisasi, ipo, aset.
Katadata

Meraba Digitalisasi Lewat Fintech

Foto Ilustrasi Fintech Landing
Foto Ilustrasi Fintech Landing (Muhammad Zaenuddin|Katadata) 

Menjamurnya inovasi bank digital dan teknologi keuangan (fintech) semakin meningkatkan persaingan antar-institusi keuangan, tidak terkecuali BPR. Huda menilai aksi merger hingga kolaborasi dengan fintech akan lebih efektif dalam mendorong kinerja dan eksistensi BPR.

“Ceruk pasar keuangan dengan digital sangat besar dan bisa dimanfaatkan oleh BPR. Beberapa fintech juga sudah masuk ke BPR, termasuk fintech payment gateway Zendit,” ujar Huda.

Peluang BPR untuk meningkatkan kinerja dengan kolaborasi ini cukup tinggi. Misalnya, dengan margin tekfin pembiayaan atau fintech peer-to-peer (P2P) lending yang cukup tinggi, BPRS bisa mengambil keuntungan dari sana. Begitu juga sebaliknya, lander P2PL juga bisa diarahkan untuk masuk ke BPR.

Sebelumnya, Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Mulya E Siregar, mengatakan arah kebijakan OJK yang ditetapkan dalam POJK 25 akan banyak beralih pada sustainable finance. Hal ini tentu akan menjadi tantangan baru dan sangat penting bagi BPR/BPRS untuk berinovasi dengan cepat.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam seminar virtual mengatakan BPR/BPRS penting untuk berinovasi secepatnya. Tujuannya, agar bisa berkompetisi melayani kebutuhan ekonomi kecil dan UMKM.

Di samping itu, BPR/BPRS juga harus menghadapi shadow banking melalui fintech, dengan regulasi yang lebih longgar dan kompetitif. “Tantangannya, bagaimana BPR/BPRS dapat melakukan penetrasi pasar, sehingga bertumbuh dengan baik,” ujar Dian.

Cahyo pun menyadari gempuran fintech dan bank digital di era pandemi yang memiliki irisan segmen pasar hampir sama. Dia merasa BPR/BPRS memang masih kalah dari segi teknologi dan layanan yang ditawarkan kedua institusi keuangan tersebut.

Namun Asbisindo lebih unggul dalam memahami kondisi nasabah di lapangan, lantaran bank tersebut berbasis komunitas. “Kami mendorong untuk berkolaborasi antara dua industri, karena sepertinya di lapangan segmen pasar yang digarap itu sama,” ujar Cahyo.

Saat ini, Asbisindo sudah bekerja sama dengan fintech P2P lending dan payment gateway. Selain berkolaborasi dengan institusi keuangan, BPRS berharap bisa bekerja sama dengan pemerintah sebagai penyalur dana strategis seperti dana Pemulihan Ekonomi Negara (PEN) dan Program Keluarga Harapan.

Dari segi internal, BPRS juga perlu memperkuat permodalan untuk bisa bersaing dengan industri keuangan lainnya. Dengan begitu, bank syariah tersebut bisa mendorong kinerja dengan ekspansi, serta meningkatkan kompetensi sumber daya manusia.

Baca Juga ARTIKEL EDISI KHUSUS PERBANKAN LAINNYA:

Nasib BPR dan BPRS ke Depan

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto mengatakan BPR dan BPRS masih memerlukan beragam perbaikan. Itu termasuk regulasi dan tata kelola, misalnya melalui Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Menurut dia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi BPR dan BPRS di era digital, seperti perubahan kebutuhan dan ekspektasi masyarakat terhadap produk dan layanan perbankan. Itu terjadi seiring pergeseran perilaku yang semakin mengandalkan teknologi.

Selain itu, BPR dan BPRS harus mampu menyediakan produk dan layanan inovatif dan variatif, murah, aman serta mudah diakses di berbagai tempat dan tidak terikat waktu. Kualitas dan kuantitas SDM pun perlu ditingkatkan agar bisa bersaing dengan bank umum.

Di samping itu, ketatnya persaingan antarlembaga jasa keuangan yang semakin ketat, seperti persaingan pemberian kredit atau pembiayaan untuk segmen mikro dan ritel perlu diantisipasi. Sehingga, ketersediaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai perlu menjadi sorotan.

Tak sampai di sana, BPR dan BPRS juga mesti bersiap menghadapi risiko terkait keamanan data dan perlindungan konsumen. Hal itu seiring pemanfaatan teknologi serta penyediaan produk dan layanan berbasis digital yang memiliki risiko keamanan seperti kebocoran data dan serangan siber.

Ketua Umum Kompartemen BPRS Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia Cahyo Kartiko memperkirakan kinerja BPRS tahun ini lebih berat. Ada tiga hal yang mendasari pandangan ini.

Pertama, adanya kemungkinan penarikan dana di BPRS oleh nasabah karena ekonomi Indonesia sudah semakin pulih pasca pandemi. Kedua, penarikan dana tersebut juga bisa dilakukan oleh bank yang melimpahkannya ke sektor riil.

Ketiga, kekhawatiran pelarian dana DPK akibat risiko kenaikan suku bunga bank sentral, baik Bank Indonesia maupun Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed. Ketika suku bunga naik, pemilik dana BPR cenderung mengharapkan bagi hasil yang lebih tinggi sehingga ada kemungkinan penarikan dana ke instrumen lain. “Termasuk risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari tahun lalu,” ujar Cahyo. 

Risiko larinya penghimpunan dana nasabah di BPR juga disadari Huda. Ekonom INDEF tersebut menilai potensi tersebut cukup besar terjadi, seiring meningkatnya perang suku bunga dengan perbankan besar.

BPR diprediksi kesulitan untuk mengamankan net interest margin atau NIM, ketika suku bunga dinaikkan. “Kalau suku bunga kredit naik, permintaan kreditnya akan semakin sulit. Sementara korporasi masih ada NIM (meskipun menaikkan suku bunga),” kata Huda.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora, Intan Nirmala Sari
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...

Artikel Terkait