Ekonomi Hijau Itu Mahal, Penerapannya Perlu Bertahap

Pingit Aria
1 Oktober 2020, 08:00
Agus Salim Pangestu
Katadata/Joshua Siringo ringo
Agus Salim Pangestu - President Director, PT Barito Pacific Tbk.

Lalu apa solusinya?

Bagaimana mengelola sampah? Itu masalah utama kita. Dan ini bukan hanya soal plastik, wong kita cuma pakai plastik 5,7 juta dibanding 350 juta ton konsumsi dunia.

Begitu juga di sektor energi. Sering kali NGO atau investor menganggap batu bara itu jelek. Padahal untuk beralih dari fosil ke energi hijau itu memerlukan batu lompatan. Di AS, batu lompatan itu gas yang harganya memang lebih murah dibanding di sini. Di Indonesia, batu lompatan itu mungkin batu bara karena pembangkit listrik kita masih banyak menggunakan batu bara.

Pertanyaan dilematis, apakah batu bara itu baik? Menurut saya itu solusi yang bisa diterima. Karena sekali lagi, ekonomi hijau itu mahal. Tidak ada yang lebih murah, termasuk tenaga matahari. Solar panel kelihatannya per kilowatt-hour (kWh) murah, tapi untuk Indonesia, total biayanya, apalagi kalau mau integrasi dengan baterai, akan lebih mahal.

Jadi solusi keberlanjutan itu analoginya seperti menyetir mobil manual ada gigi satu, dua, tiga. Sangat berbahaya kalau dari gigi satu mendadak pindah gigi lima. Gigi satu ibarat kondisi kita saat ini, gigi lima ibarat kita mau semua pembangkit listrik panas bumi berjalan dengan tarif yang mahal. Mungkin negara bangkrut, tidak bisa menjangkau.

Kta harus realistis, membangun kerja sama yang erat antara pemerintah, swasta dan NGO. Yang pasti, pemerintah harus membuat rencana aksi.

Pandemi ini kesempatan yang baik untuk memindah gigi. Mungkin ada kesempatan antara gigi satu ke gigi tiga. Sementara itu saja.

Berikut adalah grafik yang menggambarkan energi panas bumi di Indonesia:

Tetapi dari pemerintah sepertinya belum ada blue print yang matang untuk beralih ke energi hijau ya?

Saya belum lihat. Tetapi tentu pemerintah melakukan yang terbaik, upaya-upaya kelihatan terutama dalam pengembangan infrastruktur yang begitu pesat.

Covid-19 datang tiba-tiba. Pemerintah saat ini sibuk urusan Covid-19, itu paling penting.

Kembali ke masalah plastik, Barito sudah masuk pengelolaan sampah, termasuk dengan upaya recycling, reuse. Pada 2010, Chandra Asri menghasilkan plastik yang mudah terurai. Apa yang ingin Bapak sampaikan?

Sebenarnya semua plastik bisa didaur ulang. Rata-rata harga 1 ton plastik itu US$ 1000. Bayangkan, harga 1 ton batu bara US$ 50-70.

Konsep bakar sampah plastik itu di otak saya sebenarnya bakar uang. Pertanyaannya, kenapa sampah plastik susah didaur ulang? Sampah plastik di Asia susah didaur ulang karena kantong kresek, plastik sekali pakai digunakan untuk membungkus sampah basah.

Sedangkan, plastik perlu dibersihkan sebelum didaur ulang. Biaya untuk memisah dan membersihkan itu jauh lebih mahal ketimbang nilai plastik itu sendiri.

Contoh ekstrim, di Tokyo, Jepang, masyarakat terbiasa memilah plastik menjadi 17 jenis. Di sini pun ada upaya-upaya yang kami coba lakukan. Misalnya, dengan menggandeng NGO untuk melakukan edukasi memisah sampah organik dan anorganik di rumah. Ini perubahan perilaku yang akan makan waktu lama sekali.

Berikut adalah Databoks yang menggambarkan penggunaan plastik oleh usaha kecil dan menengah (UMKM) di Jakarta:

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...