Riset dan Inovasi Menyeimbangkan Pemulihan Kesehatan dan Ekonomi

Hanna Farah Vania
Oleh Hanna Farah Vania - Tim Riset dan Publikasi
5 Januari 2021, 10:44
Bambang Brodjonegoro
Katadata
Menteri Riset dan Teknologi / Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro

Pengelola dananya tetap di LPDP tapi yang memakai dan membuat programnya dari Kemenristek/BRIN. Dan kami akan fokus untuk tiga bidang. Satu, mendorong PRN. Kedua, mendukung penanganan Covid-19. Ketiga, mendorong kerja sama penelitian dengan luar negeri.

Anggaran Dana Abadi Penelitian Per Tahun (Rp triliun)
Sumber: Kemenristek/BRIN

Apabila dilihat secara jangka panjang, seperti apa peran riset dan inovasi dalam menghadapi isu-isu tidak terduga, seperti Covid-19 saat ini?

Kalau untuk jangka panjang inovasi harus menjadi mainstream di dalam pembangunan ekonomi kita. Karena saat ini kalau kita lihat pembangunan ekonomi kita ini praktis masih sangat tergantung dari sumber daya alam dengan nilai tambah yang relatif masih rendah. Tugas kita adalah mencoba meningkatkan nilai tambah yang ada untuk kepentingan masyarakat Indonesia dulu.

Jadi insentif, prioritas riset semuanya diarahkan agar suatu saat kita lebih mandiri dan akhirnya negara kita ekonominya menjadi ekonomi berbasis inovasi, bukan lagi ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Nah, ekonomi berbasis inovasi itu pasti melahirkan daya saing yang lebih berkesinambungan dan yang paling penting bisa membawa kita keluar dari middle income trap.

Bagaimana strategi untuk mewujudkannya?

Pertama, insentif supaya perusahaan lebih banyak terlibat dalam kegiatan penelitian. Kedua, pendekatan triple helix, jadi peneliti harus berkolaborasi. Kita juga mendorong pengadaan pemerintah untuk berpihak kepada produk dalam negeri terutama kepada inovasi dalam negeri. Kita juga dorong perusahaan-perusahaan selain aktif R&D, mereka sadar dulu bahwa R&D adalah kunci mereka untuk memenangi persaingan ke depan.

Jadi kita melakukan riset untuk mencari solusi dari masalah yang kita hadapi. Kalau kita punya ketergantungan impor, inovasi harus menjadi solusi dari susbtitusi impor menjadi, solusi dari nilai tambah sumber daya alam kita. Termasuk di saat pandemi, ya inovasi sebagai solusi dari pandemi.

Terkait pendekatan triple helix yang membutuhkan kerja sama, bagaimana mendorong kolaborasi antara badan riset swasta, balitbangjirap, dan organisasi masyarakat sipil (CSO)?

Pada dasarnya penelitian itu bisa dilakukan oleh semua pihak. Salah satunya ketika perusahaan-perusahaan makin banyak yang melakukan kegiatan R&D, kita juga harus membina para peneliti yang ada di perusahaan. Karena sekarang ini peneliti yang dibina kebanyakan peneliti yang PNS, baik di daerah atau pusat. Nah, kita juga ingin peneliti itu datang dari komunitas, ya termasuk dari CSO.

Kalau dari daerah, peran perguruan tinggi akan menjadi sangat penting karena merekalah yang punya human resource paling besar untuk penelitian dan juga cukup kreatif untuk selalu mencoba mencari solusi dengan inovasi. Kemudian yang pasti mereka bisa melibatkan talent-talent yang ada di daerah untuk bisa bekerja sama untuk diangkat atau dibimbing dalam melakukan penelitian.

Jadi yang harus kita lakukan sekarang dalam triple helix adalah benar-benar memadukan antara akademisi dengan industri dan pemerintah harus menjadi fasilitator yang baik. Termasuk menyediakan regulasi yang mendukung. Jangan sampai regulasinya malah membuat akademisinya tidak semangat atau membuat industrinya jadi malas untuk berinteraksi dengan akademisi.

Jadi target kami adalah dalam lima tahun kita sudah mulai membentuk ekosistem yang lebih mulus dengan PRN tadi. Karena ketika kita membuat PRN dengan 49 produk, itu kita langsung tentukan untuk setiap produk siapa saja lembaga pemerintah yang ikut, penelitinya, lembaga penelitianya, dan universitasnya.

Kita libatkan juga industrinya supaya dari awal sudah tahu apa yang dikerjakan oleh para peneliti. Jadi istilahnya industri yang di hilir harus mau ke hulu. Peneliti di sisi hulu juga harus mau melihat ke hilir. Bahasa gampangnya para peneliti harus gaul dengan dunia industri. Hanya dengan cara itulah mereka bisa tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.

Fungsi BRIN sendiri sebagai fasilitator akan seperti apa?

Kami menyadari bahwa hasil riset tidak mungkin dilahirkan dari hanya kerja satu orang. Pasti harus ada kolaborasi yang menyertai. Apalagi kalau sudah bicara inovasi. Ya kolaborasinya harus lebih luas, tidak cukup hanya antarperiset, antaruniversitas, antarlembaga penelitian, tapi juga dengan dunia usaha. Nah, di situ lah peran kami untuk menjembatani tadi, yang paling pertama adalah memastikan triple helix jalan.

Tadi disebutkan, pemerintah tengah membentuk ekosistem riset dan inovasi yang lebih baik. Peran penelitian sosial humaniora dalam ekosistem itu seperti apa?

Riset sosial humaniora (soshum) bisa masuk untuk mengidentifikasi yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dia (soshum) yang membuka jalan.

Di samping itu mendorong bagaimana komunitas merespon isu. Contoh di Bali terkenal (sistem irigasi) Subak. Itu kan reaksi komunitas menghadapi masalah sulitnya mendapatkan sumber air. Nah, kemudian subak itu sendiri adalah inovasi. Tapi bukan inovasi dalam bentuk pengembangan melainkan dalam bentuk tata kelola.

Jadi sosial humaniora itu harus kita dorong di awal karena bagaimanapun akhirnya manusia lah yang menentukan segalanya. Termasuk untuk digital. Salah satu PRN kita adalah melihat perilaku masyarakat terhadap digitalisasi. Transformasi digital hanya akan berhasil kalau masyarakatnya adaptif. Pertanyaannya bagaimana membuat masyarakat itu adaptif? Nah, itu lah bagian dari sosial humaniora yang kita butuhkan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...