Sektor Jasa Keuangan Perlu Ikut Mendanai Penanganan Perubahan Iklim

Intan Nirmala Sari
13 Mei 2022, 07:00
Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, Enrico Hariantoro
Katadata

Otoritas Jasa Keuangan resmi meluncurkan Taksonomi Hijau untuk mendukung pengembangan ekonomi hijau di Tanah Air pada wal tahun ini. Pemerintah menggunakan Taksonomi Hijau ini untuk memisahkan sektor dan subsektor usaha yang ramah lingkungan, kurang ramah lingkungan, dan tidak ramah lingkungan.

Peluncuran Taksonomi Hijau dilakukan saat Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2022. Presiden Joko Widodo hadir dalam hajatan tersebut. Taksonomi ini akan menjadi panduan insentif dan disinsentif kementerian/lembaga pemerintah.

“Kondisi ideal yang kita harapkan adalah sektor jasa keuangan selaku private sector, termasuk BUMN, yang memiliki potensi sumber pembiayaan besar, dapat menutup keterbatasan anggaran pemerintah untuk mendanai penanganan perubahan iklim," kata Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, Enrico Hariantoro dalam wawancara tertulisnya kepada Katadata beberapa waktu lalu.

Berikut ini rangkuman wawancaranya

Bagaimana Taksonomi Hijau dapat mengklasifikasi atau memberikan penilaian terhadap sektor dan subsektor usaha?

Taksonomi Hijau Indonesia atau THI adalah klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Tujuan menyeluruh dari pengembangan THI adalah meningkatkan aliran modal dan pembiayaan, menuju kegiatan yang lebih ramah lingkungan. Tujuan tersebut akan dicapai secara bertahap.

Sistem traffic light yang diadopsi THI mengklasifikasikan sektor ekonomi ke dalam tiga klasifikasi, yakni hijau, kuning dan merah. Secara khusus, warna kuning merepresentasikan aspek transisi menuju sektor yang telah menganut prinsip-prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Meskipun klasifikasi merah bukan negative list, namun dapat diasosiasikan sebagai sektor yang tidak ramah lingkungan, dan ke depan perlu didorong untuk menuju sektor yang lebih ramah lingkungan.

THI mengklasifikasikan atau memberikan penilaian terhadap sektor dan subsektor usaha, melalui sekumpulan kriteria atau batasan di masing-masing sektor atau subsektor, yang masuk ke dalam cakupan Taksonomi Hijau Indonesia dan terpetakan ke dalam masing-masing klasifikasi (hijau, kuning, merah).

Ilustrasi pembiayaan berkelanjutan
Ilustrasi pembiayaan berkelanjutan (123rf.com/warat42)

Apa saja yang menjadi cakupan Taksonomi Hijau di sektor perbankan dan keuangan (Sustainable Finance)?

THI mencakup pengklasifikasian 919 subsektor ekonomi, dari total 2.733 subsektor ekonomi sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik.

Kesemuanya dijangkarkan pada sektor-sektor prioritas dalam penanganan perubahan iklim dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC), yakni energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan industrial processes and product use (IPPU).

Dalam hal ini, KBLI merupakan klasifikasi ekonomi yang digunakan sebagai acuan di berbagai sektor, termasuk perbankan dan sektor keuangan, dalam pelaporannya kepada regulator.

Mengapa hal tersebut penting diterapkan?

Taksonomi Hijau Indonesia merupakan inisiatif strategis OJK dan menjadi salah satu mandat di Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025). Hal itu menjadi jawaban dari tantangan penerapan keuangan berkelanjutan, berdasarkan lesson learned yang kami peroleh dari roadmap sebelumnya (Tahap I: 2015-2019), yakni ketiadaan standardisasi hijau di industri jasa keuangan.

Absennya standar nasional hijau dapat menyebabkan multi interpretasi, dan potensi pengungkapan atau pelaporan informasi terkait kegiatan ramah lingkungan yang kurang tepat (greenwashing).

Untuk itu, kehadiran standar yang reliable dan tervalidasi secara nasional untuk masing-masing subsektor ekonomi akan memudahkan pemangku kepentingan dalam meyakini diferensiasi antara sektor hijau dan non-hijau.

Ke depan, pengungkapan yang tepat dan reliable akan memudahkan OJK dan pemerintah menyiapkan insentif dan disinsentif, untuk mendorong aktivitas dan kegiatan usaha di sektor hijau, serta menerapkan manajemen risiko yang memadai bagi Sektor Jasa Keuangan atau SJK.

Bagaimana penerapan Sustainable Finance di Indonesia sejauh ini?

Dukungan terhadap penanganan perubahan iklim bukan hal baru bagi OJK. Sejak pelaksanaan Roadmap Tahap 1 (2015-2019), OJK telah menelurkan berbagai inisiatif dan capaian, dengan tujuan utama meningkatkan portofolio hijau di sektor jasa keuangan.

Namun perlu dipahami, bahwa hal tersebut dilakukan secara bertahap, mulai dari peningkatan awareness, hingga benar-benar implementasi atau enforcement secara utuh.

Salah satu capaian dari sisi instrumen keuangan, adalah Penerbitan Global Sustainability atau Green Bond oleh beberapa issuer. Di antaranya seperti Bank BRI, PT SMI, Bank Mandiri, OCBC NISP, Indonesia Infrastructure Finance (IIF), PT Star Energy Geothermal, Tropical Landscape Finance Facility (TLFF), dan PT JAPFA. Seluruhnya mencapai US$ 3,1 miliar (Rp 44,6 triliun) di pasar global dan US$ 382 juta (Rp 5,5 miliar) di pasar domestik.

Bagaimana penerapan idealnya?

Dari sudut pandang kami, penerapan sustainable finance mengalami perkembangan signifikan di Indonesia. Ini tidak lepas dari peran pemerintah yang sangat serius mewujudkan komitmennya untuk bertransisi menuju ekonomi hijau.

Tentu kondisi ideal yang kita harapkan adalah sektor jasa keuangan selaku private sector, termasuk BUMN yang memiliki potensi sumber pembiayaan besar, dapat menutup keterbatasan anggaran pemerintah untuk mendanai penanganan perubahan iklim.

Hal tersebut dicapai melalui peningkatan portfolio hijau di balance sheet mereka. Meski demikian, upaya ini perlu dilakukan secara bertahap dan terukur, dengan menyeimbangkan aspek bisnis dan risiko. Selain itu, agar tidak menimbulkan shock terhadap stabilitas sistem keuangan (a.l. melalui potensi transition risk).

Ke depan, kami yakin sektor jasa keuangan memiliki sense tinggi terhadap isu keberlanjutan, dan tidak melihat ini sebatas tren bisnis semata. Hal ini tercermin dari laporan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan alias RAKB dan Sustainability Report atau SR yang telah disampaikan kepada kami (dan publik untuk SR).

Itu menunjukkan komitmen sektor jasa keuangan terhadap sustainable finance semakin meningkat. OJK juga mendorong kesiapan sektor jasa keuangan dengan penguatan tata kelola alias good corporate governance, peningkatan kapasitas internal, serta  penerapan manajemen risiko yang memadai (termasuk climate-related  financial risk).

Bagaimana penerapannya jika dibandingkan dengan negara lain? Bagaimana praktiknya dalam menerapkan prinsip Sustainable Finance?

Dibandingkan negara lain, Indonesia termasuk kelompok negara paling awal menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan di industri keuangan atau first mover. Ini tampak dalam Sustainable Banking and Finance Network atau SBFN Global Progress Report 2021, yang menempatkan Indonesia bersama Tiongkok dan Kolombia di tahapan terdepan di antara emerging countries dalam mengimplementasikan keuangan berkelanjutan.

SBFN merupakan platform yang dibentuk World Bank, melalui subsidiary-nya International Finance Corporation atau IFC, untuk mendukung negara anggotanya mengakselerasi penerapan sustainable finance dalam rangka prioritas pengembangan nasional, pendalaman pasar keuangan, dan stabilitas.

Proses selanjutnya dalam penerapan prinsip berkelanjutan, mayoritas negara atau kawasan yang umumnya diinisiasi oleh regulator sektor jasa keuangan menyusun taksonomi hijau.

Hingga saat ini selain Indonesia, terdapat tujuh negara dan dua kawasan (European Union dan ASEAN) yang menerbitkan taksonomi hijau. Taksonomi hijau berfungsi sebagai panduan bagi perbankan dalam menyalurkan kredit/pembiayaan ke sektor hijau.

Namun dalam prakteknya, itu perlu dilengkapi dengan metode pengukuran risiko dan data yang memadai untuk mendukung aspek bankability/feasibility dari proyek-proyek berkelanjutan.

Hingga saat ini, secara global belum disepakati dan belum terdapat metode pengukuran risiko, kecukupan modal atau indikator prudensial lainnya, untuk menghitung climate-related financial risk dalam neraca bank, termasuk standar pelaporan atau pengungkapannya.

Apa halangan atau tantangan penerapan Sustainable Finance di Indonesia? Apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya?

Beberapa tantangan utama yang kami identifikasi saat ini, seperti proyek-proyek berkelanjutan yang masih terbatas, dan portfolio pembiayaan atau instrumen hijau yang masih relatif rendah. Data pendukung dan metode pengukuran risiko terkait pembiayaan keuangan berkelanjutan juga belum memadai. Selain itu, kolaborasi dan koordinasi dengan kementerian atau lembaga perlu ditingkatkan.

Untuk mengatasi halangan atau tantangan tersebut, menurut hemat kami perlu disiapkan perangkat kebijakan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait, yang dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada perbankan atau sektor jasa keuangan, agar dapat meningkatkan porsi pembiayaan yang mendukung keuangan berkelanjutan menuju net-zero emission.

Bagaimana kesadaran masyarakat akan Sustainable Finance? Apa keuntungannya bagi masyarakat?

Seiring peningkatan kesadaran di tingkat global dan tingginya dukungan pemerintah untuk mewujudkan net-zero emission dan bertransisi ke ekonomi hijau, kami melihat peningkatan kesadaran atas implementasi sustainable finance juga terjadi di Indonesia.

Masyarakat yang berinvestasi atau menjadi pengguna produk atau jasa keuangan berkelanjutan, dapat berkontribusi terhadap penanganan perubahan iklim, dengan tetap memperoleh return atau manfaat sesuai appetite (minat) masing-masing.

Kami berikan contoh, masyarakat yang berinvestasi di green sukuk atau obligasi pemerintah, dapat meyakini bahwa investasi mereka digunakan untuk membiayai proyek-proyek berkelanjutan dengan tetap memperoleh return relatif kompetitif, dibandingkan dengan sukuk atau obligasi pemerintah konvensional (non-green).

Dengan sustainable finance, diharapkan masyarakat dan pelaku usaha tidak  hanya mengejar profit semata, namun juga menyeimbangkan aspek planet dan people.

Apa yang OJK fasilitasi untuk memastikan bank dan lembaga keuangan di Indonesia menerapkan prinsip sustainable finance?

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan alias POJK Nomor 51 Tahun 2017 menjadi landasan hukum bagi industri jasa keuangan yang diwajibkan untuk memiliki rencana penerapan sustainable finance dalam RAKB, untuk disampaikan kepada OJK dan melakukan disclosure atas realisasinya kepada publik melalui sustainability report.

Ke depan, laporan-laporan tersebut akan dilengkapi dengan data yang lebih granular dan konsisten, seiring dengan penerapan Taksonomi Hijau Indonesia.

Bagaimana edukasi mengenai sustainable finance pada masyarakat?

Kami terus melakukan capacity building kepada stakeholders internal maupun eksternal otoritas, yang juga menjadi program berkelanjutan dalam inisiatif strategis OJK. Hal ini termasuk komunikasi dan kolaborasi dengan media seperti Katadata, untuk dapat bersama-sama menjadi channel edukasi dan menyuarakan urgensi dan benefit sustainable finance bagi masyarakat.

Di samping itu, kami juga memiliki Sustainable Finance Information Hub sebagai channel satu pintu berupa website yang berisi kumpulan regulasi, pedoman, berita, dan informasi lainnya mengenai pengembangan sustainable finance yang menjadi inisiatif dari OJK. Channel ini dapat diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat umum di seluruh dunia, untuk meningkatkan pemahamannya mengenai sustainable finance

Edisi khusus ini merupakan kerja sama Katadata dengan Institute for Climate and Sustainable Cities dan Asia Comms Lab untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

ICSC x Asia Comms Lab x Katadata

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...