Memahami Krisis Energi yang Menerpa Benua Eropa
Lima negara di Eropa telah menyatakan krisis energi, terutama gas yang mengancam persediaan listrik disana. Kelima negara tersebut adalah Jerman, Swedia, Belanda, Austria, dan Denmark. Sumber energi yang terganggu pasokannya ini termasuk minyak bumi, gas, dan batu bara.
Pekan lalu, Jerman dan Austria sudah mengumumkan penyalaan darurat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Padahal, Austria adalah negara kedua di Eropa setelah Swedia yang sudah menyetop penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Italia diperkirakan akan melakukan langkah serupa dalam waktu dekat.
Belanda juga sudah mencabut pembatasan operasional pembangkit tenaga batu baranya. Menteri Iklim dan Energi Belanda Rob Jetten sendiri yang menyampaikan keputusan itu di Den Haag, Senin (20/6). Sebagai informasi, Belanda sudah membatasi produksi pembangkit menjadi hanya sepertiga dari total kapasitas, demi menekan emisi karbon dioksida.
Definisi Krisis Energi
Pemerintah mengatur perkara energi melalui UU nomor 30 tahun 2007. Dalam beleid ini, krisis energi disebutkan sebagai suatu kondisi kekurangan energi yang mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat, dan atau kegiatan perekonomian.Undang-undang ini juga menulis istilah darurat energi, yakni kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi.
Lebih lanjut, tata cara penanggulangan krisis energi dan darurat energi diatur dalam Peraturan Presiden nomor 41 tahun 2016. Penanggulangan ini dilakukan atas energi yang digunakan publik, seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, LPG, dan gas bumi. Bila cadangan operasional minimum atau kebutuhan minimum masyarakat dari keempat bahan bakar ini tidak bisa dipenuhi, maka keadaan itu disebut dengan krisis energi operasional.
Untuk melakukan tindak penanggulangan kondisi krisis energi, presiden membentuk Dewan Energi Nasional (DEN). Dewan ini juga dimandatkan untuk merancang kebijakan energi nasional, menetapkan rencana umum energi nasional, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan di bidang energi.
Penyebab Krisis Energi Benua Biru
Melansir DW, salah satu penyebab krisis energi di masa sekarang adalah pertumbuhan ekonomi masif yang disebabkan oleh relaksasi pembatasan Covid-19. Fenomena ini terjadi utamanya di benua Asia dan Amerika Selatan. Dalam video penjelasan tersebut, DW menyatakan suplai energi bisa berkurang sebab kapasitas fasilitas penyimpanan gas alam pun tidak sepenuh sebelumnya. Bahkan kapasitas gas di Uni Eropa hanya berada di tingkat 71 %.
Beberapa pengamat juga menilai krisis ekonomi disebabkan oleh pengurangan kiriman gas dari Rusia ke Uni Eropa karena alasan politis. Tercatat ada pengurangan kapasitas pada fasilitas penyimpanan gas terbesar di Eropa, yakni Rehden di Jerman. Dalam setahun ini, kapasitas yang semula terisi 87 %, hanya tersisa 5 %. Hal inilah yang membuat berbagai negara mulai beralih ke sumber energi lain yakni batu bara.
Buntut dari hukuman Rusia ini, kini ada lima negara yang akan mengaktifkan atau memperpanjang operasional pembangkit listrik tenaga batu bara mereka. Kelima negara ini adalah Austria, Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris.
Dalam catatan Katadata, sebanyak 40 % kebutuhan gas alam Uni Eropa diperoleh dari Rusia. Sisanya berasal dari Norwegia (22 %), Aljazair (18 %), dan Azerbaijan (9 %). Minyak bumi jadi impor utama Uni Eropa dari Rusia dengan nilai 24,7 miliar Euro. Kemudian impor gas alam senilai 15 miliar euro dan batu bara senilai 2,1 miliar Euro.
Berikut rangkuman Databoks terkait nilai impor produk energi Uni Eropa dari Rusia selama lima tahun terakhir:
Kemampuan Menghadapi Krisis Energi Global
Dengan situasi kekurangan pasokan energi yang terjadi di berbagai negara, Presiden Joko Widodo optimis Indonesia dapat mengambil peluang. Ia menilai Indonesia dapat berperan dengan berbagai sumber daya yang dimiliki, salah satunya batu bara. Begitu banyaknya stok batu bara Indonesia, hingga Jokowi bercerita ia sempat ditelepon lima pemimpin negara yang meminta stok batu bara.
“Waktu bulan Januari kita stok batu bara, ada lima presiden dan perdana menteri yang telpon ke saya ‘Presiden Jokowi mohon kita dikirim batu baranya ini segera, secepatnya. Kalau tidak mati listrik kita’,” tuturnya dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP Selasa (21/6) lalu.
Hingga April 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya pertumbuhan ekspor pesat, terutama di sektor pertambangan. Hal ini ditopang oleh lonjakan harga komoditas, terutama komoditas kunci yaitu batubara. Harga komoditas tersebut naik 238,8 % ke US$ 302 per ton pada bulan April, menurut BPS. Berikut data pertumbuhan tahunan ekspor barang di Indonesia menurut sektornya yang dirangkum oleh Databoks:
Kurangnya pasokan energi ini berdampak pada harga bahan bakar minyak di berbagai negara. Mantan walikota Solo ini membandingkan harga BBM Indonesia dengan negara tetangga dan Eropa. Di Singapura, harga BBM mencapai Rp 31 ribu per liter dan Thailand Rp 20 ribu per liter. Begitu juga dengan harga BBM di Jerman yang sudah mencapai Rp 31 ribu per liter.
Jokowi memaparkan harga BBM di Indonesia sendiri bukanlah harga asli, melainkan harga yang sudah disubsidi pemerintah. Untuk Pertalite, kini harganya berkisar Rp 7.650 per liter dan Pertamax dibanderola seharga Rp 12.500.