Indonesia belum sepenuhnya lepas dari masalah anak kekurangan gizi, khususnya yang berusia di bawah lima tahun (balita). Tercermin dari prevalensi stunting (pendek) masih sebesar 27,7% sampai 2019, meskipun telah turun dari 30,8% pada tahun sebelumnya.
Angka tersebut mengindikasikan masih ada 3 dari 10 anak balita menderita stunting. Jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni maksimal 20% dari jumlah total anak balita dalam satu negara.
Prevalensi wasting atau berat badan anak sangat kurang sebesar 7,44% pada 2019. Sudah tak masuk kategori serius seperti tahun sebelumnya, tapi tetap mengkhawatirkan. Data Organisasi Donor Anak PBB (UNICEF) pada 2013 menyebut wasting menyumbang 60% kematian anak balita sebagai kasus bawaan terhadap penyakit infeksi mematikan.
Kondisi tersebut membuat Indonesia masih masuk dalam kategori kelaparan serius dengan poin Global Hunger Index (GHI) sebesar 20,1. GHI diukur dengan empat indikator, yaitu proporsi kekurangan gizi dalam suatu populasi, prevalensi wasting dan stunting pada balita, serta kematian balita.
Pandemi Covid-19 berpotensi meningkatkan jumlah anak kekurangan gizi di Indonesia. Hal ini lantaran tingkat perekonomian banyak keluarga menurun dan memengaruhi pemenuhan pemenuhan pangan anak. Padahal salah satu penyebab kurang gizi anak menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), adalah ketahanan pangan tak memadai.
Hasil survei Wahana Visi Indonesia periode 12-18 Mei 2020 terhadap 900 rumah tangga, 943 anak, dan 15 informan kunci menyatakan: mata pencaharian 9 dari 10 responden rumah tangga terdampak dan 7 dari 10 terdampak parah Covid-19.
Akibatnya, kemampuan rumah tangga menyediakan makanan utama sesuai standar frekuensi untuk anak, ibu hamil, dan menyusui. Terburuk pada rumah tangga dengan bayi berusia 6-9 bulan. Hanya 39% yang menyatakan mampu.
Lalu, hanya 20,4% rumah tangga mengaku memiliki persediaan makan lebih dari sebulan. Sebaliknya, mayoritas justru dapat menyediakan makanan maksimal seminggu. Kondisi ini bisa meningkatkan risiko malnutrisi akut dan kronis pada anak.
Kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan dasar pun minim, meskipun aksesnya lancar. Untuk obat-obatan hanya 43% yang sepenuhnya mampu memenuhinya. Padahal kebutuhan ini penting selama Covid-19.
Begitupun hanya 54% responden yang sepenuhnya mampu memenuhi kebersihan dan sanitasi pribadi. Mengutip alodokter.com, “lingkungan kotor dapat menyebabkan penyerapan gizi terhambat, meskipun asupan makanan sudah baik.”
Dari sisi layanan kesehatan, lebih dari 20% responden tak mendapat akses ke puskesmas atau klinik, kilinik/praktik persalinan, klinik kesehatan keliling, dan pusat pengobatan tradisional selama pandemi. Padahal, Persagi menyebut akses kesehatan yang tak memadai juga menyebabkan anak kurang gizi.
“Posyandu (pos pelayanan terpadu) tidak berjalan lagi saat ini, selama pandemi petugas kesehatan tidak datang lagi ke desa,” kata Steven, seorang kepala desa di Kabupaten Sentani, dikutip dari laporan Wahana Visi Indonesia. Posyandu penting untuk mengasuh gizi anak.
Persoalan lain adalah dari 260 kabupaten/kota lokus stunting, 71 menjadi zona merah Covid-19, seperti halnya disampaikan Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari.
“Kita mendapat gambaran bahwa hampir semua daerah yang terkonfirmasi kasus Covid-19 memiliki prevalensi stunting dan wasting yang sedang bahkan tinggi sehingga penanganan dan pelayanan kesehatan dan gizi dalam situasi pandemi menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya masalah gizi yang lebih besar,” ujar Kirana Selasa, (9/6).
Presiden Joko Widodo berambisi menurunkan angka prevalensi stunting ke level 14% pada 2024. Untuk melakukannya, ia memerintahkan jajarannya melakukan empat hal saat pandemi Pertama, fokus menurunkan stunting di 10 provinsi dengan prevalensi tertinggi. Kedua, membuka akses pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita di puskesmas atau posyandu.
Ketiga, menggencarkan aspek promotif, edukasi, dan sosialisasi bagi ibu hamil. Terakhir, penurunan stunting terintegrasi dengan program perlindungan sosial, terutama Program Keluarga Harapan (PKH).
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi