Pandemi Covid-19 tak hanya menyebabkan krisis kesehatan, tapi juga perekonomian. Bank Dunia memproyeksikan terjadi ledakan penduduk miskin di seluruh dunia. Asia Selatan menjadi yang paling terdampak. Pada proyeksi April, 44 juta orang baru yang jatuh dalam kemiskinan. Dalam proyeksi terburuk, angkanya meningkat hingga 102 juta orang baru per Juni 2020.
Proyeksi tersebut memutus tren kemiskinan yang menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2015, Bank Dunia mencatat 738 juta orang dalam kategori miskin ekstrem. Lalu, turun menjadi 641 juta orang pada 2018. Tingkat kemiskinan pun turun dari 10,6% pada 2014 menjadi 8,4% pada 2018.
Sebelum pandemi Covid-19, Bank Dunia memperkirakan kemiskinan ekstrem sebesar 577 juta orang hingga 2021. Namun melonjak menjadi 719 juta orang pada proyeksi Juni (sisi bawah) 2021.
“Proyeksi ini mengungkap bahwa Covid-19 menyebabkan naiknya kemiskinan global sejak 1998, ketika krisis finansial Asia berlangsung,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut, dilansir Kamis (1/10).
Indonesia tak luput dari gelombang kemiskinan global. Fenomena ini bahkan sudah terlihat pada Maret 2020, bulan pertama Covid-19 melanda negeri ini. Dalam periode September 2019 hingga Maret 2020, angka kemiskinan naik 1,63 juta orang. Sehingga masyarakat yang masuk dalam kategori itu menjadi 26,42 juta orang atau 9,78% dari total penduduk.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat memprediksi tambahan angka kemiskinan dalam skenario berat sebanyak 1,1 juta orang pada kuartal II-2020. Bahkan dalam skenario yang lebih berat, 3,78 juta orang akan jatuh dalam jurang tersebut.
Pangkal utama melonjaknya kemiskinan, adalah semakin banyak pemutusan hubungan kerja. Hal ini menyusul dunia usaha terseok akibat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus penularan Covid-19.
“Kenaikan kemiskinan terjadi karena pendapatan seluruh lapisan masyarakat menurun, dan dampaknya paling dalam kepada masyarakat menengah bawah,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto pada Juli lalu.
Gelombang kemiskinan baru berkelindan dengan peningkatan kerawanan pangan. Program Pangan Dunia (WFP) memproyeksi jumlah masyarakat rawan pangan menjadi 265 juta orang pada 2020, atau naik 130 juta dari total 135 juta pada 2019. Khususnya di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Khusus di Indonesia, laporan Bank Dunia menyatakan lebih dari sepertiga rumah tangga terindikasi kekurangan makan. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan uang. Sedangkan seperempat rumah tangga lainnya menyatakan kekurangan bahan pangan.
Persoalan kerawanan pangan ini dapat berimbas pada bertambahnya angka masyarakat yang menderita kurang gizi. Selain itu, beban angka malnutrisi juga bertambah, seperti stunting, wasting, dan kelebihan berat badan.
Kerawanan pangan menandakan kesejahteraan suatu negara. Masyarakat yang mengalaminya biasanya juga terjerat dalam persoalan ekonomi, sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 makin memperluas persoalan itu.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tak tinggal diam menangani pandemi Covid-19. Pemerintah sempat menganggarkan Rp 677,2 triliun untuk menangani krisis, kemudian membengkak menjadi Rp 695,2 triliun atau 4,2% produk domestik bruto (PDB). Sebab kebutuhan korporasi dan daerah juga bertambah.
Stimulus fiskal turut menyokong biaya penanganan pandemi Covid-19. Pemerintah membagi stimulus tersebut dalam tiga jilid. Bantuan tersebut ditujukan bagi beragam pihak, mulai dari sektor pariwisata, transportasi hingga kesehatan. Relaksasi dan pengurangan pajak juga masuk dalam stimulus tersebut.
Meski demikian, segala upaya pemerintah tak berjalan maksimal jika persoalan laju penularan Covid-19 masih tak terkendali. Sebab hal itu adalah akar permasalahan dari krisis yang melanda. Unsur ekonomi dan kesehatan bak kesatuan dan perlu dihadapi bersama. Semoga pemerintah tak menafikan persoalan kesehatan yang perlu diterapkan dalam agenda prioritas penanganan.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi