Pemerintah pusat melalui Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memutuskan tidak menaikkan upah minimum pada tahun depan. Kebijakan tersebut ibarat buah simalakama bagi perekonomian nasional: daya beli masyarakat makin lemah, namun sektor usaha tidak makin tertekan oleh dampak pandemi covid-19.
Menaker mengatakan, keputusan ini telah melalui proses diskusi mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek di masa pandemi virus corona Covid-19. Termasuk faktor-faktor yang memberatkan dunia usaha.
"Ini adalah jalan tengah yang kami ambil dari hasil diskusi di Dewan Pengupahan Nasional. Kami harap para gubernur menjadikan ini sebagai referensi dalam menetapkan upah minimum,” kata Ida dalam keterangan tertulis dikutip Kamis (29/10).
Ida mengklaim 18 provinsi telah sepakat mengikuti keputusan tersebut, yakni: Jawa Barat, Banten, Bali, Aceh, Lampung, Bengkulu, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. Kemudian, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua.
Sedangkan lima provinsi tak mengikuti keputusan pemerintah pusat, yakni: DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Mereka tetap menaikkan upah minimum pada tahun depan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan besaran UMP 2021 sebesar Rp 4.416.816 atau naik 3,27% dibandingkan tahun ini. Lalu, Jawa Tengah sebesar 1.798.979 atau naik 3,27% dari Rp 1.742.015; Yogyakarta naik 3,54% menjadi Rp 1.765.000 dari Rp 1.704.608; Jawa Timur sebesar Rp 1.868.777 atau naik 5,65% dari Rp 1.768.777; dan Sulawesi Selatan sebesar Rp 3.165.876, naik 2% dari sebelumnya Rp 3.103.800.
Langkah pemerintah pusat mendapat penolakan dari kelompok buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Newa Wea mengatakan, tidak naiknya upah minimum akan semakin memberatkan buruh dalam kondisi kesulitan ekonomi di masa pandemi corona. Hal ini dinilainya bisa memengaruhi perekonomian Indonesia yang sedang anjlok.
Pendapat Gani tak berlebihan. Pendapatan masyarakat memang menurun di tengah pandemi corona yang terlihat dari data sejumlah lembaga survei. Hasil survei Indikator per September 2020 menyatakan, 66,6% masyarakat mengaku pendapatannya menurun.
Hasil survei Inventure Indonesia pun tak jauh beda. Pendapatan 67,6% responden berkurang selama pandemi corona. Lalu, 28,4% responden menyatakan pendapatan mereka sama saja. Hanya 4% responden yang justru mengalami peningkatan pendapatan.
Sementara, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020 menunjukkan penurunan pendapatan terjadi di seluruh kelompok penghasilan. Tercatat 70,53% responden dalam kelompok berpendapatan rendah atau di bawah Rp 1,8 juta pendapatannya menurun. Lalu, pada 46,77% responden dalam kelompok berpendapatan Rp 1,8-3 juta.
Untuk kelompok berpendapatan Rp 3-4,8 juta, 37,19% responden menyatakan pendapatannya menurun. Kemudian, 31,67% responden dalam kelompok berpendapatan Rp 4,8-7,2 juta bernasib serupa. Terakhir, 30,34% responden dari kelompok berpendapatan tinggi mengakui pendapatannya berkurang.
Dampak buruk dari kondisi tersebut, adalah melemahnya daya beli masyarakat untuk hampir segala jenis kebutuhan. Berdasarkan hasil survei Indikator, 55% responden kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Lalu, 12,3% responden kesulitan membayar biaya sekolah.
Lebih lanjut, 11,5% responden mengaku kesulitan membeli kuota internet untuk sekolah daring. Kemudian, 10,5% kesulitan akibat kehilangan pekerjaan; 2,9% kesulitan membayar cicilan rumah; dan 6,4% kesulitan memenuhi kebutuhan lainnya. Sementara, 1,4% responden tidak menjawab.
Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi rumah tangga dan lembaga non-pemerintah akan terkontraksi lagi antara 1,5% sampai 3% pada kuartal III 2020. Pemerintah juga meramalkannya tumbuh -1% sampai -2,1% sepanjang 2020.
Sementara, konsumsi rumah tangga menyumbang 57,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menjadi yang terbesar di antara komponen pengeluaran lainnya dan sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.
Keadaan buruk tersebut bisa terus berlanjut jika pemerintah tak menaikkan upah minimum tahun depan. Hal ini karena upah adalah modal dalam menggerakkan daya beli masyarakat. Upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada tahun depan akan lebih sulit tercapai. Terlebih pemerintah menargetkan inflasi 2021 mencapai 3%.
“Kalau inflasi naik, tapi upah minimum tidak naik, daya beli pekerja rentan anjlok. Angka konsumsi rumah tangga di kelompok menengah bawah bisa minus 2-3%," kata ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/10).
Meski demikian, pilihan menaikkan upah tak sepenuhnya menjadi solusi bagi turunnya daya beli masyarakat dan perekonomian Indonesia. Pasalnya, langkah tersebut bisa memperberat beban dunia usaha yang telah terpukul pandemi Covid-19. Misalnya, berdasarkan survei BPS, usaha akomodasi dan makan/minum yang pendapatannya turun 92,47%.
Ketika beban terlalu berat, pelaku usaha sangat mungkin terpaksa mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan karyawan untuk menguranginya. Sedangkan, Kementerian Ketenagakerjaan pada April 2020 mencatat 2 juta pekerja di-PHK dan dirumahkan. Semakin banyak pekerja menganggur, maka daya beli akan anjlok dan perekonomian sulit membaik.
Beban berat operasional dari kenaikan upah minimum juga bisa berakibat perusahaan bangkrut. Data BPS pada September 2020 mencatat hanya 26% perusahaan yang mampu bertahan lebih dari tiga bulan tanpa bantuan pemerintah. Sementara, lapangan usaha yang terdampak pandemi juga berkontribusi besar terhadap PDB. Misalnya, industri pengolahan yang menyumbang 19,87%. Artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun susah tumbuh ketika banyak perusahaan yang kolaps.
Kebijakan pemerintah pusat tak menaikkan upah minimum bisa dimengerti sebagai upaya menjaga stabilitas dunia usaha. Dengan demikian tak sampai terjadi gelombang kebangkrutan dan PHK. Pertumbuhan ekonomi pun bisa tetap terjaga sampai akhirnya pulih kembali ketika pandemi mereda.
Sebagai solusi, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet meminta pemerintah bisa menambah bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat ketika upah minimum 2021 tak naik. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat mendorong daya beli masyarakat, sehingga tingkat konsumsi rumah tangga dapat berada di level positif pada tahun depan.
Kendati, Yusuf tak bisa memastikan penambahan bansos akan bisa mendongkrak tingkat konsumsi rumah tangga secara signifikan. “Saya kira akan cukup berat. Ada potensi konsumsi rumah tangga akan tumbuh di bawah 5%, apalagi dengan asumsi bahwa kasus Covid-19 masih akan terjadi setidaknya sampai dengan awal tahun depan,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Senin (2/11).
Sementara, Ekonom senior INDEF Enny Sri Hartati menilai kenaikan upah minimum bersyarat secara sektoral bisa menjadi alternatif di sejumlah daerah. Dengan kebijakan tersebut, daya beli masyarakat masih dapat tetap terjaga. Sementara, tidak semua perusahaan akan terbebani dengan kenaikan upah minimum.
“Tentu kalau itu dilakukan formula general malah tidak adil,” kata Enny kepada Katadata.co.id, Senin (2/11).
Hanya, Enny mengingatkan agar pemerintah daerah yang memakai model upah minimum bersyarat secara sektoral bisa membuat aturan secara cermat. Pemerintah daerah harus mampu menyortir sektor-sektor apa saja yang terdampak dan tidak terdampak corona.
Dengan demikian, penerapan kenaikan upah minimum bersyarat secara sektoral bisa tepat sasaran. “Sehingga ada patokan sektor-sektor apa yang mestinya ada kenaikan upah minimum dan sektor-sektor apa yang relatif ditoleransi tidak perlu naik,” kata Enny.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi