“Keluarga saya tidak boleh keluar, kakak-kakak saya setiap mengintip saja dibilang ‘kamu tidak boleh keluar’.”
Kalimat tersebut disampaikan Tri Maharani, seorang dokter spesialis pengobatan gawat darurat, terkait stigma dari orang sekitar yang menimpanya sebagai penyintas Covid-19 dan keluarganya. Padahal mengetahui dirinya terinfeksi Covid-19 sudah membuat galau.
“Saya meskipun seorang dokter spesialis, ketika hari itu terkena sakit Covid-19 yang tidak ada obatnya dan tidak tahu apakah saya hidup atau mati akhirnya, pasti ada kegalauan yang berat,” ujar kepala unit gawat darurat di Rumah Sakit Daha Husada, Kediri ini dalam Video Live Pemaparan Hasil Survei Stigma Covid-19 & Soft-Launch Komunitas Penyintas Covid-19 pada 26 Agustus silam.
Pengalaman Maharani dan keluarganya bukan satu-satunya. Kasus lain tergambar dalam survei Lapor Covid-19 yang bekerja sama dengan Kelompok Peminatan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Survei ini terhadap 181 responden yang pernah berstatus suspek, probable, dan positif Covid-19.
Sebanyak 55,3% responden survei tersebut menyatakan mendapat stigma dalam bentuk menjadi buah bibir/diperbincangkan orang di sekitarnya. Mayoritas (42%) responden juga mengaku stigma serupa tertuju pada keluaraga/kerabatnya. Lalu, 33,2% responden mengaku terkucilkan. Sebanyak 27,1% responden juga mengaku keluarga/kerabatnya mendapat perlakuan serupa.
Bentuk stigma lain terhadap penyintas dan keluarganya yang tergambar dalam survei tersebut, yakni: dijuluki penyebar/pembawa virus; perundungan di media sosial; ditolak menggunakan fasilitas umum; dibiarkan tidak menerima bantuan; diusir dari lingkungan tempat tinggal; dan diberhentikan dari pekerjaan.
Stigma terhadap penyintas Covid-19 dapat memperlambat proses penyembuhan, sebagaimana pendapat Psikolog Edward Andriyanto dalam diskusi daring Perjuangan Penyintas Melawan Covid-19 pada 10 Oktober lalu. Sebaliknya, dukungan dari orang-orang sekitar bisa membangkitkan hormon positif bagi pasien Covid-19.
Akibat lain dari stigma adalah masyarakat menolak tes Covid-19. Hasil survei Litbang Kompas yang dipublikasikan pada 1 November 2020 mendapatkan 127 responden menolak tes cepat dan usap Covid-19. Sebanyak 17,4% di antaranya mengaku karena khawatir positif, dikarantina, dan dikucilkan. Angka ini menjadi yang tertinggi kedua setelah alasan tidak perlu/merasa sehat.
Padahal, tes sangat penting untuk mendeteksi Covid-19. Baik orang yang bergejala, maupun orang tanpa gejala (OTG). Mengingat keduanya sama-sama berpotensi menularkan virus corona. Semakin sedikit masyarakat yang sadar melakukan tes Covid-19, semakin berpotensi terjadi kasus-kasus baru.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan Indonesia masih memiliki 55.274 kasus aktif Covid-19 sampai Kamis (12/11). Angka tersebut setara dengan 12,2% dari total kasus di Indonesia.
Selain itu, berdasarkan data per 8 November 2020, hanya 13 provinsi dengan rasio kesembuhan Covid-19 melampaui rata-rata nasional yang sebesar 84,1%. Gorontalo menjadi yang tertinggi dengan 94,3%. Bali dan Kalimantan Selatan menyusul dengan 91,7% dan 90,9%.
Dalam sepekan terakhir tambahan kasus harian pun masih sekitar 3.785. Membuat Indonesia masih kokoh di posisi ke-21 dunia dalam jajaran kasus tertinggi. Totak kasus Covid-19 per 12 November sebanyak 452.291 orang dengan 14.933 di antaranya meninggal dunia.
“Inilah yang perlu dipahami bahwa stigma berkontribusi terhadap tingginya angka kematian,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah, dikutip dari laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Oleh karena itu, sudah semestinya menghentikan stigma terhadap penyintas Covid-19. Salah satu caranya dengan mendorong tersebarnya informasi kredibel terkait pandemi. Pasalnya, hasil survei Lapor Covid-19 menyatakan pemicu utama stigma adalah kurang mendapat informasi atau mengonsumsi informasi yang keliru. Untuk hal ini, peran pemerintah dan media sangat penting.
Pemerintah bisa juga mencontoh Thailand yang menyediakan aplikasi seluler untuk memonitor keadaan pasien. Para penyintas Covid-19 dapat memanfaatkannya untuk melakukan konseling dan terapi. Atau, seperti India dengan para relawannya yang melakukan sosialisasi pada masyarakat, sebab pesan akan tersampaikan jika dilakukan dalam komunitas, ketimbang disampaikan selebritas atau ahli.
Peran masyarakat tak kalah penting dari pemerintah. Khususnya orang-orang terdekat penyintas Covid-19. Mengingat, hasil survei Lapor Covid-19 menunjukkan 53,6% responden penyintas mengaku mengandalkan pasangan saat pertama kali mengetahui telah positif Covid-19. Selanjutnya adalah orangtua (21%) dan teman/teman kerja (10,5%).
Dukungan sederhana kepada para penyintas Covid-19 sudah sangat berarti. Survei yang sama menyatakan, 70,2% responden penyintas mengaku butuh dukungan lewat tanya kabar. Angka yang sama juga untuk dukungan dalam bentuk bisa kembali beraktivitas seperti semula.
Menghadapi Covid-19 memang membutuhkan gotong royong dari semua pihak. Mereka yang sedang berupaya bangkit dan pulih dari penyakitnya pun perlu mendapat dukungan, bukan dikucilkan. Keberhasilannya turut bersumbangsih terhadap terkendalinya pandemi dalam negeri.
Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi