Advertisement
Advertisement
Analisis | Selamat Datang Era Bank Digital di Indonesia, Prospek & Tantangannya - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Selamat Datang Era Bank Digital di Indonesia, Prospek & Tantangannya

Foto: 123RF
Indonesia kian dekat dengan era bank digital atau neobank. Perkembangannya berprospek cerah, tapi tetap memiliki sejumlah tantangan.
Andrea Lidwina
24 Desember 2020, 10.34
Button AI Summarize

Indonesia sedang bersiap menghadapi era bank digital atau neobank. Peluangnya cukup besar untuk berkembang seiring pertumbuhan aktivitas masyarakat di ranah daring, tapi sekaligus memiliki sejumlah tantangan.

Neobank memberikan semua layanan secara online dan tidak memiliki kantor cabang fisik. Nasabah cukup menggunakan ponsel dan koneksi internet untuk membuka rekening atau mengakses layanan keuangan lainnya.

Hal ini berbeda dengan digitalisasi bank yang ramai dilakukan saat ini, salah satunya mobile banking, sebab bank masih membuka dan mengandalkan kantor cabang.

Sementara itu, Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar mengatakan bank digital hadir melalui dua pola. Pertama, bank melakukan transformasi model, strategi, dan produk bisnis. Kedua, bank yang sejak awal dibentuk sebagai bank digital.

Sampai saat ini, bank digital yang telah beroperasi di Indonesia adalah dengan pola pertama. Jenius milik Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang mulai melayani nasabah pada 2016. Lalu, digibank (Bank DBS Indonesia), Tyme Digital (Bank Commonwealth), dan Wokee (Bank Bukopin) muncul pada 2017.

Sepanjang 2020 tercatat dua bank digital baru dengan pola pertama meluncur, yakni Nyala (OCBC NISP) dan TMRW (UOB Indonesia). Keduanya masih beroperasi di bawah entitas bank umum pemiliknya.

Tiga bank digital dengan pola kedua juga tengah bersiap melayani publik. Bank Digital BCA berencana mulai beroperasi pada awal 2021. Dua lainnya adalah Bank Jago dan Bank Neo Commerce yang belum mengumumkan kapan akan beroperasi.

Bank Digital BCA terbentuk atas akuisisi Bank BCA atas seluruh saham Bank Royal senilai Rp 988,04 miliar pada akhir tahun lalu.

Lalu, Bank Jago terbentuk setelah mantan Direktur Utama Bank BTPN Jerry Ng dan pendiri Northstar Group Patrick Walujo mengakuisisi 51% saham Bank Artos. Bank Jago telah menerbitkan saham baru atau right issue sekitar Rp 1,34 triliun untuk pengembangan infrastruktur, teknologi informasi, sumber daya manusia, serta perbaikan struktur permodalan.

Wajah digital Bank jago makin terlihat seiring masuknya Gojek. Melalui layanan keuangan digital GoPay, decacorn tersebut telah membeli 22% saham Bank Jago. Ke depan, bank jago akan dimasukkan ke dalam ekosistem digital Grup Gojek. 

Bank Neo Commerce terbentuk setelah startup teknologi finansial (fintech) Akulaku sah menjadi pemegang saham terbesar Bank Yudha Bhakti pada pertengahan tahun lalu. Adapun, salah satu pemegang saham Akulaku adalah Alipay, yang merupakan bagian dari raksasa keuangan digital asal Tiongkok, Ant Group Financial.

Perkembangan neobank dalam bentuk kedua di Indonesia boleh dikatakan tertinggal dari negara lain. Di Hong Kong, delapan bank digital telah beroperasi sejak otoritas moneter negara tersebut (HKMA) membuka pendaftaran lisensi pada tahun lalu.

Salah satunya adalah ZA Bank yang mampu menawarkan bunga deposito maksimal 6,8% selama tiga bulan untuk simpanan hingga Rp 175 juta.

Bank digital di negara lain yang telah beroperasi, yakni: Volt Bank di Australia, Jibun Bank di Jepang, KakaoBank dan K Bank di Korea Selatan, WeBank dan MYBank di Tiongkok, dan Monzo Bank di Inggris.  

 

Peluang bisnis bank digital di Indonesia tetap cerah. Pasalnya, jumlah pengguna internet di negeri ini terus tumbuh yang mencerminkan besarnya pasar. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet mencapai 196,7 juta jiwa pada 2019. Angka itu naik hampir 15% dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar belum tergarap oleh layanan perbankan digital. APJII mencatat dari 55,8% responden yang membeli barang kebutuhan melalui internet, baru 10,8% yang menggunakan layanan keuangan digital seperti m-banking, i-banking, dan uang elektronik untuk membayar transaksinya.

Padahal, pengguna layanan keuangan digital di Indonesia kian meningkat. AppAnnie, misalnya, mencatat jumlah pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) mobile banking di dalam negeri sepanjang Januari-September 2020 tumbuh 44% secara tahunan. Persentase itu menjadi ketiga tertinggi di Asia Tenggara. Artinya, potensi neobank menggaet nasabah sangat besar.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani mengatakan bank digital juga mampu menyaingi bisnis fintech, seperti dikutip dari CNN Indonesia. Menurutnya, bank digital menawarkan layanan yang mudah, cepat, dan serba digital, seperti yang dilakukan fintech saat ini. Meski begitu, bank digital unggul dalam memberikan beragam layanan serupa bank konvensional, bukan hanya pinjaman atau pembayaran saja.

Selain itu, Menurut Aviliani, bank digital sudah memiliki ekosistem yang memadai untuk menghimpun dana, berbeda dengan fintech yang perlu berkolaborasi dengan bank untuk menghadirkan ekosistem tersebut.

“Mereka (fintech) belum punya ekosistem yang cukup untuk menutup biaya operasional. Dananya pun masih dari bank karena tidak bisa himpun dana dari tabungan, tapi dari investor,” kata Aviliani.

Namun, bank digital menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, belum ada aturan mengenai neobank. Bank digital saat ini masih mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Padahal, bank digital memiliki aspek-aspek baru, di antaranya pembukaan rekening secara virtual dan keamanan data pengguna.

Kedua, belum ada regulasi terkait perlindungan data dan sistem keamanan data yang memadai. Hal ini berpotensi mengakibatkan data pengguna disalahgunakan oleh pihak ketiga. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan serangan terhadap situs internet, pengumpulan informasi, dan trojan paling banyak ditemukan pada Januari-Juli 2020. Total serangan siber pun mencapai 189,9 juta selama periode tersebut.

Ketiga, literasi keuangan masyarakat Indonesia masih rendah. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019 menyebutkan literasi keuangan nasional sebesar 38%. Jika dilihat berdasarkan sektor jasa keuangan, perbankan punya persentase tertinggi, yakni 36,1%. Meski begitu, masih lebih banyak ruang yang belum terisi dengan pengetahuan dan keyakinan soal layanan keuangan.

Melihat peluang dan tantangan yang ada, bank digital perlu memutar otak untuk mengamankan, bahkan memperbesar porsinya dalam layanan keuangan di Indonesia.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi