Advertisement
Advertisement
Analisis | Tanda-tanda Pulihnya Industri Manufaktur setelah Pandemi - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Tanda-tanda Pulihnya Industri Manufaktur setelah Pandemi

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
PMI Manufaktur Indonesia pada Januari 2021 mencapai skor tertinggi sejak tahun 2014. BI memproyeksikan kinerja industri manufaktur akan tumbuh positif pada kuartal I-2021.
Dwi Hadya Jayani
9 Februari 2021, 13.33
Button AI Summarize

Industri manufaktur Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan usai terpukul pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari skor Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang sebesar 52,2 pada Januari 2021, tertinggi sejak Juli 2014, menurut IHS Markit. Angka itu lebih tinggi dari Vietnam (51,3), Thailand (49), Malaysia (48,9), dan Myanmar (47,8).

Pengambilan skor PMI Manufaktur berdasarkan pada survei terhadap para purchasing manager. Mereka adalah orang yang bertangung jawab membeli mesin peralatan, alat-alat, suku cadang, persediaan, dan peralatan lain untuk operasional sektor manufaktur.

Semakin tinggi optimisme para purchasing manager terhadap kondisi ekonomi sebuah sektor manufaktur, maka skor semakin tinggi. Skor PMI Manufaktur yang lebih dari 50 menunjukkan sektor tersebut berada dalam fase ekspansi. Sebaliknya, skor di bawah 50 berarti sedang kontraksi.

Skor PMI Manufaktur Indonesia terus meningkat sejak September 2020 lalu yang sebesar 47,2. Lalu, beruturut-turut menjadi  47,8 pada Oktober, 50,6 pada November, dan 51,3 pada Desember 2020.

Hasil Survei Kegiatan Usaha Bank Indonesia (BI) mendapati saldo bersih tertimbang (SBT) industri manufaktur pada kuartal IV-2020 -0,47%. Angka itu jauh lebih baik daripada kuartal II-2020 yang sebesar -11,61%. BI pun memproyeksikan SBT sektor manufaktur sebesar 0,8% pada kuartal I-2021.

SBT adalah hasil perkalian antara saldo bersih dan bobot masing-masing subsektor manufaktur. Sementara saldo bersih adalah hasil dari pengurangan antara persentase responden yang menjawab “naik” dan “turun”. Hasil negatif berarti kontraksi, sedangkan positif berarti ekspansi.

Secara subsektor manufaktur, BI memproyeksikan hanya industri barang kayu dan hasil hutan lainnya serta logam dasar besi dan baja yang masih terkontraksi pada kuartal I-2021. Masing-masing terkontraksi 0,19% dan 0,11%.  

Terdapat dua hal yang mendorong kinerja industri manufakur dalam negeri, yakni: ekspor dan investasi. Nilai ekspor industri manufaktur sebesar US$ 131,1 miliar atau 80,3% dari total ekspor Indonesia yang sebesar US$ 163,3 miliar pada 2020.   

Nilai ekspor manufaktur meningkat 2,95% dari 2019 yang sebesar US$ 127,4 miliar. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, kinerja ekspor tersebut membuat neraca peradagangan sektor manufaktur sepanjang 2020 surplus US$ 14,17 miliar.

Realisasi investasi manufaktur tercatat meningkat 26,4% (YoY) pada 2020 dan menjadi yang tertinggi kedua dari seluruh sektor dengan nilai Rp 272,9 triliun. Angka itu setara dengan 33% dari total investasi Indonesia pada 2020. Pertumbuhan realisasi investasi manufaktur tahun lalu berbeda dengan rentang 2017-2019 yang selalu negatif.  

Geliat sektor manufaktur bisa menjadi tanda pemulihan ekonomi nasional usai terpukul pandemi Covid-19. Pasalnya, sektor ini berkontribusi 19,86% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau yang tertinggi dibandingkan lapangan usaha lainnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan sektor ini terus meningkat dalam tiga triwulan terakhir, meskipun masih di angka kontraksi. Teranyar atau pada kuartal IV-2020 pertumbuhannya sebesar -3,14%. Lebih tinggi dibandingkan kuartal III-2020 yang -4,34%.

Selain itu, serapan tenaga kerja industri manufaktur terbesar ketiga pada 2020. Namun penyerapan tenaga kerja dari sektor ini menurun 8,96% menjadi 17,48 juta pada Agustus 2020 dari periode sama pada tahun sebelumnya yang sebanyak 19,2 juta tenaga kerja. Hal ini seiring penurunan kinerja sektor manufaktur yang sempat terjadi akibat pandemi Covid-19.

BI pun memproyeksikan serapan tenaga kerja industri manufaktur akan meningkat pada kuartal I-2021, meskipun masih terkontraksi 0,8%. Penyerapan tenaga kerja di tiga subsektor pun diproyeksikan tumbuh positif, yakni: industri makanan dan minuman (0,32%); pupuk kimia dan barang dari karet (0,04%); serta semen dan barang galian logam (0,03%).   

Namun Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy berpendapat, saat ini masih terlalu dini untuk mengatakan industri manufaktur telah normal. Hal ini lantaran pandemi Covid-19 masih berlangsung di Indonesia.

Sementara, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai pemulihan jenis industri manufaktur yang berorientasi pada ekspor akan berlanjut. Namun, untuk yang berorientasi pasar dalam negeri membutuhkan waktu lebih lama. Ia memperkirakan industri manufaktur akan keluar dari tekanan pada semester-II 2021.  

Bhima menyatakan, perlu mewaspadai penurunan impor. Hal ini lantaran berdasarkan jenis impor, yang menurun tertinggi justru bahan baku/penolong (-18,32%) dan barang modal (-16,73%).

 “Jika impor bahan baku menurun maka efeknya akan terlihat dalam penurunan kinerja produksi manufaktur 3-5 bulan berikutnya. Impor yang menurun pastinya akan memengaruhi pendapatan di sektor perdagangan, transportasi, jasa logistik, dan pergudangan,” jelas Bhima.

Hal lain yang berpotensi menghambat pertumbuhan industri manufaktur, kata Bhima, adalah permintaan. Pembatasan mobilitas masyarakat untuk menghambat laju penularan Covid-19 akan tetap mengunci permintaan.

Bhima juga menilai serapan tenaga kerja industri manufaktur tak akan lekas pulih. Hanya jenis industri berorientasi ekspor yang akan menyerap tenaga kerja. Itu pun, kata dia, cenderung merekruit kembali karyawan lama.

Oleh karen itu, kata Bhima, kunci meningkatkan kinerja industri manufaktur adalah dengan memperbaiki kepercayaan konsumen di dalam negeri. Khususnya dengan menangani Covid-19 secara optimal.

“Tantangan paling besar adalah pasar industri domestik karena adanya pembatasan sosial dan masih tingginya kasus harian menurunkan optimisme dalam berbelanja,” jelas Bhima.

Selain itu, menurut Bhima, pemerintah perlu juga memberi insentif yang mempermudah mendapatkan bahan baku, akses pembiayaan, dan mengupayakan penurunan hambatan di negara tujuan ekspor.  

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi