Advertisement
Analisis | Mengapa Covid-19 Akan Terus Ada dan Menjadi Endemik? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Mengapa Covid-19 Akan Terus Ada dan Menjadi Endemik?

Foto: Joshua Siringo Ringo/Katadata
Sejumlah ilmuwan dalam survei Nature menyepakati Covid-19 tak akan bisa hilang total dan menjadi endemik. Manusia pun harus hidup berdampingan dengan virus tersebut dalam waktu lama, meski kondisinya tak akan seburuk saat ini.
Author's Photo
16 Maret 2021, 12.39
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi selama lebih kurang setahun terakhir berpeluang menjadi endemik. Virus ini akan tetap ada dan menyebar di wilayah populasi sampai tahun-tahun mendatang, meskipun vaksinasi telah dilakukan.

Hal itu berdasarkan pendapat 119 ahli imunologi, peneliti penyakit menular, dan ahli virologi dari 23 negara dalam survei Nature. Sebanyak 60% dari total responden menilai sangat mungkin SARS-CoV-2 menjadi endemik. Lalu, 29% menilai virus itu mungkin menjadi endemik. Sebaliknya, hanya 6% yang meragukan virus tersebut menjadi endemik.   

Dalam survei tersebut, 52% responden pun berpandangan virus SARS-Cov-2 tak bisa musnah. Hanya 39% yang menilai virus tersebut bisa musnah.

 “Memberantas virus ini sekarang dari muka bumi seperti mencoba untuk merencanakan konstruksi jalur batu lompatan ke bulan. Tidak realistis,” kata epidemiologi University of Minnesota di Minneapolis, Michael Osterholm, seperti dikutip dari Nature.

Sebelum  Covid-19, sejumlah virus telah menjadi endemik dan manusia harus hidup berdampingan dengannya sampai saat ini. Di Indonesia, misalnya, wabah yang masih endemik adalah hepatitis, turbekolosis (TBC), malaria, demam berdarah dengue (DBD), dan kusta.

Menurut Kementerian Kesehatan, tuberkulosis (TBC) yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis berkontribusi terhadap 271.750 kasus di Indonesia hingga 7 Desember 2020 lalu. Angkanya tak jauh berbeda dengan penyakit endemik lain, malaria yang menyebabkan 250.664 kasus pada 2019.

Penyakit lain yang juga endemik adalah hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV). Keduanya paling banyak mewabah di Asia Pasifik. Melansir Kompas, sekitar 1 juta orang meninggal dunia akibat hepatitis tiap tahunnya berdasarkan data pada 2018.

Meski Covid-19 berpeluang menjadi endemik seperti penyakit-penyakit lain tersebut, bukan berarti kondisi akan seburuk saat ini. Ke depannya, tingkat kematian bisa menurun dan pembatasan ruang gerak masyarakat bisa tak diperlukan lagi. Masyarakat pun akan terbiasa dengan pemeriksaan dan tes Covid-19.

“Menurutku, ini akan menjadi bagian dari budaya kita (dokter) untuk berkata, apakah Anda terjangkit infeksi bakteri atau virus? Anda terinfeksi virus, apakah itu flu atau virus corona atau lainnya?”, ujar profesor di La Jolla Institute untuk Imunologi, Erica Ollmann Saphire, dilansir dari CNBC.

Selain itu, tenaga kesehatan nantinya akan memiliki persiapan yang lebih matang dalam menghadapi kasus Covid-19. Sebab, mereka telah memahami transmisi virus SARS-CoV-2 dan cara mencegah penyebarannya.

Agar sampai pada titik tersebut, bergantung kepada kecepatan vaksinasi dan mutasi virus.  Contoh nyatanya terdapat pada influenza dan empat jenis virus corona lain yang  menyebabkan demam dan tergolong endemik. Vaksinasi tahunan yang telah dilakukan membuat risiko kematian rendah dan masyarakat tak perlu memberlakukan protokol kesehatan seperti saat pandemi Covid-19.

Empat jenis virus corona tersebut adalah OC43, 229E, NL63, dan HKU1. Setidaknya tiga dari virus tersebut telah bersirkulasi di dunia selama ratusan tahun. Dua di antaranya bertanggung jawab terhadap 15% infeksi pernapasan.

Mengingat hal itu, vaksinasi berkala penting dilakukan untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap Covid-19. Peneliti penyakit menular dari Emory University di Atlanta, Georgia, Jennie Lavine memperkirakan, ketika imunitas masyarakat telah terbentuk, mereka tak akan menunjukkan gejala berat ketika terinfeksi virus SARS-CoV-2.

Lavine lebih lanjut menyatakan, Covid-19 ke depannya cenderung menyerang anak-anak, menyebabkan infeksi ringan atau bahkan tak sama sekali.

Pentingnya vaksinasi berkala juga tercermin dalam hasil survei Nature. Sebanyak 71% responden menyepakati faktor utama Covid-19 menjadi endemik lantaran sistem imun tubuh tak mampu mendeteksinya.

Sebanyak 59% responden juga menyepakati bahwa kekebalan tubuh bisa memudar setelah satu hingga dua tahun seseorang terinfeksi virus atau mendapat vaksinasi.  Temuan varian 501Y.V2 yang terdeteksi di Afrika Selatan mendukung persepsi tersebut. Mutasi virus tersebut dapat menumpulkan antibodi seseorang, termasuk orang-orang yang telah menerima vaksin Pfizer dan Moderna.

Campak bisa menjadi contoh lain vaksinasi berkala sangat penting untuk menekan laju penularan sebuah virus. Sebelum vaksin ditemukan pada 1963, penyakit ini merenggut 2,6 juta jiwa setiap tahun di seluruh dunia yang didominasi anak-anak.

Kini, meski masih berstatus sebagai endemik, campak hanya menyebar di wilayah-wilayah yang tak optimal melakukan imunisasi. Pada 2018, tercatat 140 ribu orang di dunia meninggal akibat campak.

Berdasarkan data pelacak vaksin Covid-19 yang dikembangkan Bloomberg, tingkat vaksinasi global sekitar 6,36 juta dosis per hari hingga Rabu (3/3). Dengan laju vaksinasi saat ini, dibutuhkan 4,9 tahun untuk menjangkau 75% populasi dunia dengan dua dosis vaksin. Sampai saat itu, maka protokol kesehatan dan pembatasan sosial harus tetap berjalan.

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi