Penentuan Upah Minimum Sektoral Itu Seperti Negosiasi Dagang Sapi

Pingit Aria
25 Oktober 2020, 09:00
Aloysius Budi Santoso
Katadata/Joshua Siringo ringo
Aloysius Budi Santoso, Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Apindo

RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah mendapat lampu hijau dalam paripurna DPR pada 5 Oktober 2020 lalu. Namun, draf terakhir yang berjumlah 1.187 halaman yang tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo untuk sah menjadi undang-undang itu terus menjadi polemik.

Salah satu yang menuai sorotan adalah klaster ketenagakerjaan. Serikat pekerja menilai pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja hanya menguntungkan pengusaha ketimbang melindungi buruh.

Advertisement

Benarkah demikian? UU Cipta Kerja memang menghapus ketentuan upah minimum sektoral. Regulasi ini juga memberi keleluasaan bagi pengusaha untuk mempekerjakan karyawan secara kontrak atau melalui alih daya.

Bagaimanapun, ada juga kewajiban baru bagi pengusaha dalam UU Cipta Kerja yang sebelumnya tidak diatur dalam UU nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. “Sekarang di UU ada kewajiban tambahan bagi pengusaha kalau pekerjakan karyawan kontrak, di akhir masa kontraknya kita harus memberikan kompensasi,” kata Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Apindo Aloysius Budi Santoso.

Turut mewakili pengusaha dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, Aloysius yang juga Chief Corporate Human Capital Development at PT Astra International Tbk mengungkapkan hal-hal yang jarang disorot pemberitaan.

Berikut petikan wawancaranya yang dilakukan melalui telepon, Kamis 15 Oktober 2020:

Bagaimana proses pembahasan rancangan undang-undang cipta kerja? Benarkah pengusaha mendominasi proses tersebut dibandingkan buruh?

Apindo diminta masukan, serikat pekerja juga diminta masukan. Tetapi yang merumuskan draf itu kan pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) karena hak konstitusinya di mereka.

Dengan berbagai masukan yang sudah disampaikan dari kalangan pengusaha, Apindo dan Kadin, apakah hasilnya sudah dirasa cukup mengakomodir?

Kalau pertanyaannya puas atau tidak, agak sulit menjawabnya karena pengusaha juga beragam kepentingannya. Kami dari sisi asosiasi melihatnya bahwa di sana sini ada relaksasi terhadap regulasi yang tumpang tindih. Kita makin merasa lebih mudah dan lebih nyaman untuk berinvestasi.

Walaupun kemudian di sana sini ada kewajiban-kewajiban tambahan yang harus dilakukan pengusaha. Saya kira itu fair.

Seperti apa misalnya kewajiban-kewajiban tambahan itu?

Dalam UU Cipta Kerja, sekarang pengusaha harus bayar kompensasi kontrak. Kalau dulu di UU Ketenagakerjaan perusahaan kontrak orang, tidak ada kompensasi setelah selesai masa kontraknya. Berapa kompensasinya, itu masih harus di atur dalam peraturan pemerintah.

Ini seperti pesangon bagi karyawan kontrak?

Betul, sebagai pesangon untuk karyawan kontrak. Isu kontrak seumur hidup di UU Cipta Kerja itu juga omong kosong karena tetap dalam batas waktu tertentu. Cuma, berapa lama waktunya, itu masih akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Sejak RUU Cipta Kerja dibawa ke sidang paripurna DPR pada 5 Oktober sampai sekarang sudah ada beberapa versi draf yang berbeda. Apakah Anda mengikuti perubahan-perubahan ini, terutama di klaster ketenagakerjaan?

Saya kira secara garis besar, setidaknya dokumen yang kami terima, tidak ada perubahan signifikan dari draf yang 812 halaman yang sudah diserahkan dari DPR ke pemerintah itu. Mungkin satu dua kata, rasanya tidak terlalu berarti. Esensinya masih sama.

Mengingat masih adanya perubahan-perubahan dalam draf, apakah dari pihak pengusaha masih ada komunikasi dengan pemerintah setelah paripurna 5 Oktober 2020?

Pada prinsipnya kita sudah tidak diminta pandangan. Secara formal kami dimintai pandangan itu pada bulan Juni 2020. Di Kementerian Ketenagakerjaan kan memang secara resmi ada forum tripartit nasional antara perwakilan pemerintah, pengusaha dan buruh. Jadi kalau teman serikat pekerja bilang tidak diajak bicara, itu tidak benar.

Kami pernah dalam satu ruangan bersama pemerintah dan bekerja sama selama 9 hari berturut-turut. Saat itu di Jakarta sudah berlaku PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) transisi sehingga boleh diskusi offline.

Setelah itu, kami juga pernah dipanggil DPR untuk rapat dengar pendapat pada bulan Agustus. Demikian juga serikat pekerja saya dengar dipanggil. Itu resminya. Kami tidak bisa memberi masukan kalau tidak diminta.

Kalau secara tidak resmi?

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement