Dutch Disease, Penyakit Makroekonomi yang Intai Indonesia
Kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan indikator terkena Dutch Disease alias 'penyakit Belanda'. Salah satu gejalanya adalah kontribusi industri manufaktur yang terus menurun dalam PDB Indonesia selama satu dekade terakhir.
Bank Dunia pun telah memperingatkan Indonesia terkait risiko tersebut, melalui tiga tolok ukur. Menurut lembaga itu, ekspor Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada industri padat komoditas. Kemudian, tingkat kecanggihan manufaktur indonesia paling rendah di antara negara di Asia Timur. Dan ketiga, sumbangan Indonesia dalam ekspor global pun stagnan, bahkan lebih rendah dari sesama negara Asia Timur.
Sinyalemen ini pun ditangkap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam paparannya pada acara peluncuran Indonesia Economic Prospect di Jakarta, Kamis (15/12) lalu. Ia melihat adanya disrupsi pasokan secara global yang menyulitkan berbagai negara dalam proses pemulihan. Akibatnya, bisa ada inflasi yang sangat cepat terhadap harga komoditas dan bahan bakar.
"Kondisi saat ini sepertinya mirip-mirip tahun 1970-an 1980-an, di mana adanya ledakan komoditas. Di saat bersamaan untuk mengatasi Dutch disease tadi kita juga mengatasi hal yang sangat penting, yaitu kualitas sumber daya manusia Indonesia," kata Sri Mulyani dalam peluncuran Indonesia Economic Prospect edisi Desember 2022 di Jakarta, Kamis (15/12).
Kondisi ini terlihat dalam data kontribusi sektor industri pengolahan dan pertambangan terhadap PDB Indonesia selama satu dekade terakhir. Dalam periode itu, kontribusi industri pengolahan untuk PDB terus menurun, bahkan semakin cepat sejak 2021 karena adanya lonjakan harga komoditas. Di sisi lain, tingkat kontribusi industri pertambangan, yang merupakan sektor berbasis komoditas, terus meningkat dalam dua tahun terakhir.
Apa Itu Dutch Disease?
Istilah Dutch disease pertama kali muncul pada 1977 di kolom Business Brief majalah The Economist. Tulisan yang terbit pada 26 November 1977 tersebut menganalisa krisis yang dialami Belanda padahal negara tersebut menemukan cadangan gas alam di Groningen pada 1959.
Komoditas baru itu awalnya mendongkrak nilai ekspor minyak negara Kincir Angin sehingga mata uang Gulden Belanda pun meroket. Namun, produk ekspor Belanda lainnya kurang bisa bersaing di pasar global. The Economist mencatat produksi industri Belanda tidak meningkat sama sekali sejak 1974, dan tingkat lapangan kerja di sektor tersebut berkurang 16% sejak 1970.
Meski begitu, ekonomi Belanda terkesan masih tangguh bila dilihat dari sisi eksternal. Pertama, Gulden meningkat hingga 16,4% sejak Desember 1971 bila dilihat dari indeks trade-weighted dollar. Kemudian, keuangan negara yang menunjukkan defisit tahunan US$ 130 juta antara 1967 hingga 1971, justru berbalik surplus antara 1972 hingga 1976. Kenaikan harga minyak yang sangat tajam menjadi pemicunya.
Secara singkat, fenomena ini menjelaskan paradoks bahwa berita baik seperti penemuan cadangan minyak justru bisa menimbulkan efek buruk di jangka panjang. Investopedia menyebut fenomena ini biasa dimulai dengan masuknya uang asing dalam jumlah besar untuk mengeksploitasi sumber daya yang baru ditemukan. Selain itu, gejala fenomena ini adalah meningkatnya nilai tukar uang yang diikuti penurunan ekspor dan lapangan pekerjaan.
“Kontras antara kondisi yang sehat secara eksternal namun berpenyakit di dalam inilah gejala dari Dutch disease,” tulis majalah The Economist.
Efek Bagi Indonesia
Pandangan berbeda muncul dari ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky. Menurutnya, Dutch disease tidak melulu dilihat dari penguatan sektor komoditas yang menekan industri manufaktur. Biasanya fenomena ini terjadi kala perekonomian suatu negara sangat bergantung terhadap pertumbuhan yang mengandalkan komoditas.
Tapi penyakit ini ia lihat sudah mulai sering menjangkit Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Gejalanya bisa dilihat sejak empat hingga lima kuartal terakhir, yakni sejak lonjakan harga komoditas kuartal ketiga 2021.
“Risiko ini cukup nyata dan sebetulnya sudah ada pertandanya, setiap harga komoditas meningkat maka penerimaan negara meningkat signifikan. Akhirnya, belanja mengandalkan siklus harga komoditas. Ini gejala Dutch disease, dimana performa penerimaan, belanja, serta pertumbuhan ekonomi bergantung pada performa harga komoditas,” ujar Riefky.
Adapun lonjakan harga komoditas sejak tahun lalu ini membuat neraca dagang Indonesai berulang kali mencetak rekor ekspor positif. Kondisi ini semakin meningkat karena perang di Ukraina yang mengerek harga energi dan pangan dunia.
Di Indonesia, efek ledakan komoditas yang mengerek Dutch disease bisa membuat negara terlena dan terus bergantung pada komoditas untuk pertumbuhan ekonomi. Dengan itu, ekonomi Indonesia bisa melambat saat harga komoditas turun.
Sama halnya dengan aliran investasi ke sektor produktif yang berpotensi menurun karena dialihkan ke sektor komoditas. Kata Riefky, porsi penyaluran kredit ke sektor komoditas seperti minyak kelapa sawit di Indonesia masih cukup besar.
“Bahaya lainnya, ini akan membatasi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan kebijakan countercyclical bila penerimaan bergantung dari harga komoditas,” kata Riefky.