Sepanjang tahun lalu harga karet turun 22%, berlanjut pada 2018 ini yang sudah anjlok 25% sejak awal tahun. Hal ini mengancam perkebunan karet nasional yang 85% dimiliki oleh rakyat. Solusi pemerintah mirip dengan sawit, yakni dengan menyerap hasil produksi petani untuk digunakan di dalam negeri. Karet ini akan digunakan sebagai bahan baku campuran aspal dalam proyek infrastruktur jalan. 

Saat berkunjung ke Sumatra Selatan, Jokowi mendapat keluhan dari petani bahwa  harga jual karet petani saat ini telah jatuh di kisaran Rp 6.000 per kilogram (kg). Dalam sebulan terakhir pemerintah telah mengkaji bagaimana cara menyelamatkan petani karet. Jokowi pun memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membeli karet hasil produksi petani dengan harga Rp 7.500 - Rp 8.000 per kg.

"Saya sudah perintahkan Menteri Pekerjaan Umum, untuk beli langsung dari koperasi atau petani," ujarnya saat acara penyerahan SK Perhutanan Sosial di Taman Wisata Alam Punti Kayu Palembang, Minggu (25/11). (Baca: Harga Merosot, Pemerintah Siap Beli Karet Petani untuk Infrastruktur)

Bertindak cepat, Kementerian PUPR menyatakan siap menjalankan perintah Presiden. Rencananya kementerian akan membeli 150 ribu ton karet langsung dari petani. Jumlah yang akan diserap mencapai 5% dari total produksi perkebunan karet rakyat per tahun.

Pembelian akan dilakukan secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Pada tahap awal, sebanyak 2.600 ton akan mulai dibeli pada pertengahan bulan ini. Harga yang dijanjikan pun sebesar Rp 10.500 per kg, lebih tinggi dari yang diperintahkan Jokowi. Harga pasaran internasional untuk bahan olah karet rakyat (bokar) dengan kadar karet kering (KKK) 60% saat ini memang di kisaran Rp 9 ribu – Rp 10 ribu per kg.

Harga Karet

Indonesia merupakan produsen karet terbesar kedua di dunia. Data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) mencatat dengan total luas lahan perkebunan 3,6 juta hektare, Indonesia mampu memproduksi karet alam sebesar 3,5 juta ton per tahun. Produksi karet dalam negeri mengungguli Malaysia, India, dan Vietnam. Indonesia hanya kalah dari Thailand yang produksinya mencapai 4,4 juta ton. Jika ditotal, Indonesia dan Thailand menyumbang 60% produksi karet dunia.

Dalam mengatasi anjloknya harga, Pemerintah Thailand menawarkan 3.000 bath atau sekitar Rp 1,3 juta per rai (1.600 meter persegi) bagi petani karet. Syaratnya, mereka tidak boleh menyadap karet di kebunnya selama tiga bulan. Program yang dijalankan mulai November 2018 hingga April 2019 ini diperkirakan akan mengurangi produksi karet Thailand sebesar 200 ribu ton.

(Baca: Harga Komoditas Anjlok, Kementan Dorong Penguatan Petani)

Bagaimana dengan Indonesia? Produksi karet nasional tahun ini diperkirakan lebih rendah dari tahun lalu. Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Aziz Pane memperkirakan produksi karet nasional tahun ini di bawah 3 juta ton, meleset dari target 3,7 juta ton. Rendahnya produksi disebabkan penyakit yang melanda sebagian perkebunan karet nasional. Pusat Penelitian Karet mencatat penyakit gugur daun awalnya terdeteksi di Sumatra Utara pada 2016, akibat penggunaan bibit yang kualitasnya rendah.

Tahun ini penyakit tersebut sudah tersebar di enam provinsi, yakni Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sepanjang semester I-2018, serangan gugur daun telah membuat produksi karet di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan turun 13,8%.

Dengan fakta ini, program pengurangan produksi seperti yang dilakukan di Thailand sepertinya tidak akan efektif diterapkan di Indonesia. Di sisi lain, ekpor yang menjadi andalan menyerap produksi, malah berkurang. Aziz mengatakan permintaan karet dunia pun sedang lesu. Perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok, pelemahan nilai tukar rupiah dan ketidakmampuan Indonesia mengintervensi pasar, menjadi faktor penyebab permintaan karet dunia melemah.

Ekspor dan Konsumsi Karet
(Gapkindo)

Tiongkok dan AS merupakan pasar terbesar ekspor karet alam Indonesia. Dari total 3,28 juta ton ekspor karet nasional tahun lalu, sekitar 21,4% dijual ke Tiongkok dan 18% ke AS. Sisanya ke Jepang, India, Korea, Brasil, Kanada, dan negara lainnya. Sementara Gapkindo mencatat volume impor karet alam Tiongkok pada bulan September 2018 turun 10%, begitu pun dengan Amerika.

Tidak ada jalan lain, Indonesia harus berusaha sendiri mendongkrak harga karet dengan meningkatkan penyerapan di dalam negeri. Pemerintah menyiasati anjloknya harga dengan menggenjot penyerapan dalam negeri, salah satunya dengan penggunaan aspal karet.

Teknologi aspal karet dirintis oleh Henry Prastanto dari Pusat Penelitian Karet (PPK) PT Riset Perkebunan Nusantara sejak 2010. Karet digunakan sebagai bahan campuran sekitar 5-7% aspal jalanan. Teknologi ini telah diuji gelar di Lido, Bogor, kemudian dilanjutkan pada September 2017 di Sawangan, Depok.

Aspal karet dinilai lebih unggul dibandingkan aspal biasa. Titik lelehnya lebih tinggi, sehingga tahan terhadap sinar matahari. Aspal ini lebih kuat dan fleksibel, tidak cepat retak atau pecah, dan mampu menahan beban berat. Hasil uji menunjukkan aspal karet 1,5-2 kali lebih awet.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement