Energi Terbarukan Dominasi Pembangkit Listrik Uni Eropa
Energi baru terbarukan (EBT) menggeser bahan bakar fosil pada pembangkit listrik di Uni Eropa di 2020. Kondisi ini merupakan yang pertama kalinya terjadi di kawasan tersebut.
Menurut laporan lembaga Ember dan Angora Energiewende, sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari, menghasilkan 38% listrik untuk 27 negara anggota kelompok itu. Bahan bakar fosil, seperti batu bara dan gas, menyumbang 37%.
Denmark memakai tenaga angin dan surya terbanyak. Pembangkit energi terbarukannya menyumbang 61% dari kebutuhan listrik pada tahun lalu. Irlandia mencapai 35% dan Jerman 33%. Negara dengan pangsa energi terbarukan terendah, di bawah 5%, adalah Slowakia dan Republik Ceko.
Pembatasan gerak akibat pandemi Covid-19 alias lockdwon telah menyebabkan permintaan listrik di Uni Eropa turun 4%. Dampaknya sangat terasa oleh produsen bahan bakar fosil.
Pembangkit listrik tenaga batu bara anjlok 20% pada 2020 dan telah berkurang setengahnya sejak 2015. "Pembangkit ini jatuh di hampir setiap negara, melanjutkan keruntuhan batu bara yang terjadi sebelum Covid-19," kata laporan itu, dikutip dari Reuters, Senin (25/1).
Banyak negara di Eropa yang secara bertahap menghentikan pembangkit tenaga listrik tenaga batu bara yang berpolusi tinggi untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon. Harga listriknya yang rendah di saat pandemi corona membuat beberapa pembangkitnya menjadi tidak menguntungkan dibandingkan yang memakai energi terbarukan.
Pemakaian energi ramah lingkungan akan terus meningkat tapi tidak terjadi pada bahan bakar tinggi emisi. “Apabila bahan bakar fosil akan pulih, itu tidak akan meningkat banyak,” kata analis listrik senior Ember Dave Jones.
Dalam laporan Energy Outlook 2020, BP memprediksi akan terjadi pergeseran konsumsi energi. Pada 2050, sumber energi utama yang dikonsumsi berasal dari energi terbarukan, menggantikan minyak yang menjadi sumber utama pada 2018.
Perusahaan Migas Lakukan Transisi Energi
Perusahaan migas papan atas telah secara tajam mengurangi pencarian bahan bakar fosil sejak 2020. Harga minyak yang rendah akibat pandemi corona menjadi pemicunya.
Data konsultan Norwegia, Rystad Energi, menunjukkan BP memperoleh sekitar 3 ribu kilometer persegi izin eksplorasi baru pada tahun lalu. Angkanya terendah sejak 2015 dan jauh lebih sedikit dibanding perusahaan sejenis. Shell mendapat 11 ribu kilometer persegi dan Total 17 ribu kilometer persegi.
Exxon Mobil, Royal Dutch Shell, dan Total mengurangi pengeluaran karena perizinan eksplorasi yang turun. “Perusahaan tidak ingin menumpuk biaya di area non-inti operasi mereka,” kata analis Rystad Energy Palzor Shenga.
Penurunan yang terjadi pada BP dipicu perubahan strategi. Perusahaan asal Inggris ini bahkan memangkas tim eksplorasi minyak dan gas buminya (migas) pada tahun lalu. Hal ini sejalan dengan strategi untuk melakukan transisi sebagai produsen bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Sumber Reuters menyebut ahli geologi, insinyur, dan ilmuwannya berkurang menjadi kurang 100 orang dari puncaknya 700 orang beberapa waktu lalu. Padahal, tim eksplorasi migasnya telah lebih seabad berkontribusi besar terhadap perusahaan dengan menemukan miliaran barel minyak.