Stimulus itu datang di akhir Maret 2020. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menambah alokasi belanja dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp 405 triliun. Sejumlah kalangan menilai amunisi pemerintah dalam melawan dampak virus corona ke perekonomian domestik ini menyisakan sejumlah bolong.

Di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa kemarin (31/3), Jokowi mengumumkan penambahan belanja itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020. “Perppu ini berisikan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan,” kata Jokowi.

Dari total stimulus Rp 405 triliun, sebesar Rp 110 triliun untuk program perlindungan sosial dan Rp 75 triliun untuk kesehatan. Sementara Rp 150 triliun dialokasikan bagi pemulihan ekonomi dan Rp 70,1 triliun insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR).

Konsekuensinya, dana extra ordinary ini memicu peningkatan defisit anggaran hingga 5,07%. Sebenarnya, angka tersebut melewati ambang defisit dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam penjelasan Pasal 12, defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Karena itulah Jokowi mengeluarkan Perpu sebagai payung hukumnya. Pemerintah saat ini membutuhkan relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3%, paling tidak selama tiga tahun. “Setelah itu, kita kembali disiplin fiskal maksimal defisit 3% pada 2023,” ucapnya.

(Baca: Dampak dan Risiko Defisit Anggaran hingga 5,07% untuk Atasi Corona)

Anggaran Jokowi untuk Melawan Virus Corona
Anggaran Jokowi untuk Melawan Virus Corona (Katadata)

Penanganan Corona, Kemudian Dampaknya

Sebenarnya, langkah pemerintah ini mendapat apresiasi sejumlah pihak. Lembaga pemeringkat Moody’s, misalnya, menilai pelonggaran defisit membuat pemerintah jadi memiliki ruang fiskal lebih besar untuk menerapkan stimulus. “Defisit anggaran 5% dan pembalikan ke target defisit semula pada 2023 akan memperkuat kepercayaan investor secara keseluruhan,” kata Analis Senior Sovereign Risk Group Moody’s Anushka Shah.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mendukung kebijakan itu. Apalagi dalam stimulus itu pemerintah akan memberikan insentif pajak penghasilan (PPh) 21 untuk wajib pajak berpenghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun. Ada pula pembebasan PPh Impor, restitus pajak pertabambahan nilai (PPN) yang dipercepat, dan tarif PPh Badan turun menjadi 22%.

“Khusus untuk bidang perpajakan, menurut saya, sudah cukup responsif,” ujarnya. “Apa yang direncanakan dalam omnibus law perpajakan ditarik ke depan agar memberi dampak bagi wajib pajak.”

(Baca: DPR: Realokasi Anggaran Penanganan Corona Harus Disertai APBN-P)

Namun, kritik juga muncul dalam stimulus itu. Pandemi corona sebenarnya seperti sekam yang membakar di Tanah Air. Tapi sebelum memadamkan apinya, pemerintah lebih fokus ke dampaknya.

Kebijakan untuk melakukan pembantasan sosial berskala besar (PSBB) masih mandek di tengah jalan. Langkah beberapa gubernur dan bupati atau walikota untuk menerapkan “karantina wilayah” mundur satu langkah. Hingga kini belum ada keputusan PSBB dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Contohnya, Jakarta. Gubernur Anies Baswedan beberapa kali ingin melakukan pembatasan sosial secara ketat di Ibu Kota, namun dimentahkan oleh pemerintah pusat. Terakhir, usulannya untuk melakukan PSBB juga belum mendapat respons. “Kami sempat mengusulkan karantina wilayah,” ucap Anies.

(Baca: Anies Minta Sri Mulyani Cairkan Dana Rp 7,5 T untuk Tangani Corona)

Situasi di Jakarta memang sudah mengkhawatirkan. Penderita Covid-19-nya tertinggi di negara ini. Yang positif hampir menyentuh 900 kasus. Beberapa warga Jakarta yang memilih mudik sebelum lebaran memicu penyebaran virus ini semakin besar di daerah. Penanganannya cukup mencemaskan lantaran fasilitas kesehatan terbatas.

Karena itu, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono menyoroti alokasi dana stimulus ratusan triliun tadi. Dia menilai sebaiknya pemerintah mengutamakan untuk menangani penyebaran Covid-19 terlebih dulu. Persoalan ekonomi akan lebih mudah diatasi jika penyakit tertangani.

“Dalam situasi ini harus fokus pada akar masalah, yaitu pandemi corona. Jadi, segala daya diarahkan untuk menghentikan penyebarannya,” kata Iwantono.

Apalagi, dana pemerintah terbatas. Masalah saat ini bukan semata-mata sisi permintaan, tapi pasokan. Kegiatan usaha melemah karena pergerakan orang dibatasi untuk mencegah penyebaran virus corona. “Bayangkan, moneter yang terlalu longgar, uang banyak beredar tapi barang tidak ada karena produksi terhenti. Bisa terjadi hiper-inflasi ,” ujarnya.

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berpendapat penanganan masalah kesehatan dan ekonomi di Indonesia harus berjalan beriringan. Langkah Tiongkok yang menangani masalah pandemi terlebih dulu tidak bisa ditiru Indonesia. “Struktur ekonomi Indonesia tidak sekuat Tiongkok. PDB per kapita di sana US$ 10.263, sementara kita US$ 4.193,” kata Bhima. "Kalau ditiru nanti bisa chaos seperti di India.”

(Baca: Lockdown di India yang Berujung Krisis Kemanusiaan)

Tapi bukan berarti stimulus yang dikeluarkan Jokowi sudah benar sepenuhnya. “Ada bolong di tengah, yakni kelas menengah dan rentan miskin belum banyak tersentuh,” ujar dia. Padahal, Bank Dunia sudah mengeluarkan kajian ada aspiring middle class yang jumlahnya mencapai 115 juta orang. Kelompok ini rentan jatuh miskin ketika terjadi pandemi.

Bantuan pemerintah soal diskon listrik, kartu sembako, dan mencegah pemutusan hubungan kerja hanya fokus ke orang miskin. Pekerja informal, seperti pengemudi ojek online mendapat penangguhan kredit, tapi implementasinya diserahkan ke masing-masing bank dan leasing.

Adapun pelapak online yang masuk kategori UMKM diberikan kartu prakerja. “Ini lucu, enggak nyambung. Kenapa tidak menerapkan universal basic income, langsung cash transfer,” kata Bhima.

Malaysia melakukan hal itu. Subsidi internet diberikan langsung sampai Rp 2,2 triliun untuk membantu pekerja, terutama yang melakukan tugasnya di rumah. Pemerintah seperti meremehkan penderitaan kelas menengah. Padahal, data Bada Pusat Statistik pada September 2019 menyebut golongan ini menyumbang 36,9% total pengeluaran nasional.

(Baca: Pandemic Bond, Surat Utang Negara untuk Atasi Wabah Covid-19)

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu, Muchammad Egi Fadliansyah, Agatha Olivia Victoria, Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement