Industri hulu migas merupakan salah satu penghasil emisi karbon (CO2) yang cukup tinggi. Untuk menekan tingkat emisi agar sesuai dengan target dekarbonisasi sektor energi, teknologi CCUS (carbon capture, utilization, and storage) atau penangkapan dan penyimpanan karbon harus diterapkan.
SKK Migas mendorong penerapan teknologi CCUS dalam industri hulu migas. Meskipun implementasinya masih menunggu rampungnya regulasi mengenai perdagangan karbon.
"CO2 itu harus bisa ditangkap. Kementerian Keuangan dan KLHK duduk bersama dan membuat kebijakan untuk aturan carbon pricing," kata Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman dalam diskusi secara virtual, Rabu (28/7).
Ia menambahkan bahwa dekarbonisasi merupakan salah satu tantangan sektor hulu migas selain transisi energi yang bisa berdampak pada komersialisasi dan kegiatan produksi. "Bagaimana industri migas bisa menyeimbangkan antara target emisi karbon dan target produksi untuk bisa memenuhi persyaratan dekarbonisasi," ujarnya.
Namun, ini tak mudah. Pasalnya 60% lapangan migas di Indonesia merupakan lapangan tua yang biaya operasionalnya tinggi. Menurut data SKK Migas, sejumlah lapangan migas memproduksi emisi karbon yang cukup tinggi.
Lapangan tersebut di antaranya Lapangan Kuala Langsa yang dioperasikan Medco E&P menghasilkan emisi CO2 sebesar 81%, East Natuna-Pertamina (80%), South Jambi-ConocoPhillips (60%), Arung Nowera-Medco E&P (60%), Lapangan Singa-Medco E&P (38%), dan Lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB)-Pertamina EP (35%).
Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Saleh Abdurrahman mengatakan pemerintah terbuka dalam mendiskusikan masalah insentif yang dibutuhkan untuk industri hulu migas. Mengingat aturan nilai ekonomi karbon akan membuat keekonomian dari proyek CCUS.
"Saya mengikuti diskusinya kalau kita bisa menggunakan harga karbon maka akan ada dampak besar pada keekonomian proyek, jadi hal-hal seperti ini yang perlu kita butuhkan kalau misalnya ada satu proyek akan ada CCUS," katanya.
Simak databoks berikut:
Beberapa pekan lalu Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha mengatakan regulasi mengenai penerapan teknologi CCUS masih menanti terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) untuk nilai ekonomi karbon.
Dia berharap melalui rancangan Perpres NEK, kegiatan CCUS diharapkan dapat lebih ekonomis karena regulasi ini akan mengatur nilai ekonomi dari unit karbon. "Masih menunggu Perpres Nilai Ekonomi Karbon. Dalam perpres tersebut akan memuat CCUS," kata dia.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan dan Produksi PHE Taufik Aditiyawarman mengatakan kontribusi emisi CO2 dari hasil kegiatan produksi migas cukup besar. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi CCUS untuk mengurangi emisinya.
Adapun teknologi ini juga nantinya dapat diintegrasikan dengan peningkatan produksi minyak melalui mekanisme Enhanced Oil Recovery (EOR). Untuk mengembangkan teknologi ini, tantangannya berada pada nilai keekonomiannya. Namun, biayanya bisa ditutupi dengan menjual karbon.
"Nah ini lah pentingnya bagaimana kita menangkap CO2 dan memanfaatkannya dalam perut bumi itu. Tapi dari sisi kapitalnya perlu dibantu melalui kredit karbon," ujar Taufik.
Adapun, penerapan CCUS sudah dilakukan uji coba di beberapa lapangan gas perusahaan. Salah satunya lapangan Gundih yang sudah bekerja sama dengan pemerintah Jepang.
Menurut Taufik jika uji CCUS ini berhasil diujicobakan di lapangan tersebut, maka tidak menutup kemungkinan akan diujicobakan di seluruh lapangan gas Pertamina. Jumlah lapangan gas yang saat ini dikelola oleh Pertamina mencapai 50 lapangan.
Dia mencontohkan Lapangan Natuna yang memiliki potensi gas 222 triliun standar kaki kubik (TSCF) dan kandungan karbon dioksida yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan lapangan ini dapat dioperasikan menggunakan teknologi ini.