ESDM Hitung Pajak Karbon PLTU Tak Signifikan Kerek Biaya Listrik

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Emisi yang dikeluarkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).
18/1/2022, 17.12 WIB

Kementerian ESDM menghitung pengenaan pajak karbon terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulai April 2022 tak akan berdampak besar terhadap biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana memastikan rencana penerapan pajak karbon ini tidak akan banyak mempengaruhi BPP yang nantinya akan mengerek tarif listrik. Dengan pajak karbon yang ditetapkan sebesar US$ 2 per ton (Rp 30/kg CO2e) maka kenaikan BPP hanya sebesar Rp 0,58 per kWh (kilowatt-hour).

Saat ini BPP harian sekitar Rp 1.400 per kWh. "Tambah Rp 0,58, jadi kecil lah. Jadi ke BPP tidak kerasa," kata Rida dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (18/1). 

Karena itu, dia meminta kebijakan pajak karbon ini bisa diterapkan terlebih dahulu. "Angka US$ 2 per ton ini untuk men-trigger. Ke depan mekanisme pasar yang bekerja, nanti PLN mengantisipasi itu."

Beberapa pihak sebelumnya menilai rencana pemerintah mengenakan pajak karbon PLTU mulai April 2022 berpotensi mengerek tarif listrik. Pasalnya, mayoritas pasokan listrik di Indonesia masih mengandalkan PLTU berbahan bakar batu bara.

Artinya, jika pajak karbon diterapkan pada PLTU, maka BPP listrik juga akan naik, yang kemudian akan mengerek naik tarif listrik.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy mengatakan, berkaca pada penerapan pajak karbon di beberapa negara, pajak karbon diterapkan pada bahan bakar utama yang memiliki emisi karbon tinggi seperti batu bara, solar dan bensin.

Sementara untuk tarif emisi umumnya dikenakan pada industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik dan petrokimia. Namun, beberapa bahan bakar utama dan industri tersebut merupakan bahan bakar yang masih umum digunakan di Indonesia.

Sehingga, sektor-sektor tersebut lah yang kemudian akan terdampak relatif lebih besar dengan rencana penerapan pajak karbon. Akhirnya secara terpaksa, sektor-sektor ini harus beralih dalam mendorong usaha mereka ke arah yang lebih ramah lingkungan.

"Berdasarkan pengalaman dari penerapan pajak karbon di Australia, kebijakan ini berdampak pada meningkatnya pengangguran di sektor tambang dan naiknya biaya listrik. Sehingga, penerapan pajak karbon menjadi konsekuensi yang perlu dimitigasi oleh pelaku usaha dan pemerintah," ujarnya kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu perlu beberapa langkah untuk mengantisipasi potensi meningkatnya biaya listrik. Misalnya melalui penyaluran subsidi yang tepat sasaran dan pemerintah harus memacu penggunaan energi baru terbarukan (EBT) secara bertahap.

Reporter: Verda Nano Setiawan