Pertamina Ungkap Solar Subsidi Langka karena Diserobot Industri Besar

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.
Foto udara sejumlah truk mengantre untuk mengisi bahan bakar solar bersubsidi di SPBU Paal Lima, Kota Baru, Jambi, Jumat (25/3/2022).
28/3/2022, 19.43 WIB

Pertamina menjelaskan kelangkaan stok solar subsidi di sejumlah SPBU disebabkan oleh peningkatan permintaan dari sektor logistik dan kebutuhan produksi pabrik sebesar 10%. Sementara pasokan turun 5% dari tahun lalu.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, mengatakan subsidi solar diperuntukkan bagi sektor retail yang menyangkut pengangkutan barang-barang UMKM, petani dan nelayan yang mencapai 14 juta kilo liter (KL). Sementara solar non-subsidi diperuntukkan bagi sektor industri besar dengan pasokan 900.000 Kl atau 0,9 juta KL.

Nicke melanjutkan, kelangkaan solar subsidi juga dipengaruhi oleh selisih harga solar subsidi dan solar non-subsidi yang mencapai Rp 7.800 per liter. Selisih harga inilah yang mendorong adanya pergeseran konsumsi yang dilakukan oleh pihak yang tak berhak menerima solar subsidi.

“Inilah yang mendorong penyaluran solar subisidi tidak tepat sasaran, Ini yang harus kita lihat, apakah ini betul untuk mendukung logistik dan industri kecil,” kata Nicke saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Senin (28/3).

Dia menambahkan bahwa porsi solar subsidi yang telah terjual hingga hari ini mencapai 93% dari total pasokan. Solar nonsubsidi hanya 7%. Menurut pantauan Pertamina dan aparat kepolisian di lapangan, antrean solar di sejumlah SPBU justru dipenuhi oleh antrean truk-truk industri besar seperti sawit dan pertambangan.

“Ini perlu ditertibkan. Selain itu, yang dibutuhkan itu ada peraturan yang lebih detail atau turunan Perpres untuk referensi hukum di lapangan,” sambung Nicke.

Nicke menduga, dari 93% solar subsidi yang disalurkan, sebagian besar diambil oleh para pelaku industri besar. Pasalnya, Nicke melihat penjualan solar non-subsidi turun sementara penjualan solar subsidi naik di saat kegiatan industri melonjak.

“Jadi ini perlu diluruskan dalam Perpres ada turunan yang mungkin diperlukan pengawasan level capman yang kemudian bisa digunakan sebagai dasar di lapangan untuk juklak juknisnya yang mengatur bagaimaan industri apa yang boleh dan tidak boleh menerima solar subsidi dan berapa volumenya dari masing-masing itu,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Nicke mengatakan Pertamina sudah menambah pasokan solar subsidi sebesar 10% per bulannya. “Per bulannya kami ada kuota ya sudah over supply 10%, sampai dengan Februari hampir seluruh daerah kecuali daerah Maluku dan Papua ini semuanya sudah di atas kuotanya,” jelas Nicke.

Nicke memperdiksi, hingga akhir tahun, peningkatan kuota solar bersubdisi dapat menyentuh angka 16%. Ia pun berharap kepada pemerintah dan kementerian untuk tetap memberikan suplai solar subsidi walau sudah melebihi kuota yang ditentukan.

“Kita berharap tidak adanya kelangkaan. Kami juga mohon dukungan jika solar subsidi ini bisa menigkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kuotanya mungkin perlu disesuaikan agar sesuai dengan kebutuhan,” tukas Nicke.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu