Rusia Pangkas Ekspor Gas, UE Berburu Pasokan ke AS hingga Azerbaijan

ANTARA FOTO/REUTERS/Geert Vanden Wijngaert/Pool /WSJ/sad.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen hari ini, Senin (18/7), berkunjung ke Azerbaijan untuk menjalin kerja sama jual beli gas alam, untuk menggantikan gas Rusia yang hilang.
Penulis: Happy Fajrian
18/7/2022, 16.55 WIB

Uni Eropa (UE) terus berburu pasokan gas alam baru setelah Rusia memangkas 75% aliran gasnya ke kawasan tersebut. Komisi Eropa dan beberapa perusahaan utilitas di Eropa, telah melobi beberapa eksportir gas alam cair (LNG) di Amerika Serikat (AS), Qatar, Australia, serta Azerbaijan.

Hari ini, Senin (18/7), Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen melakukan perjalanan ke Baku, Azerbaijan untuk mencari pasokan LNG untuk mengurangi ketergantungannya pada energi Rusia.

Menurut draf dokumen kerja sama, Komisi Eropa telah mengusulkan kepada negara-negara anggotanya untuk menjalin kesepakatan dengan Azerbaijan untuk meningkatkan impor gas alam dan mendukung perluasan jaringan pipa untuk pengiriman gas.

“Di tengah persenjataan pasokan energi oleh Rusia yang berkelanjutan, diversifikasi impor energi kami adalah prioritas bagi UE,” kata Komisi Eropa melalui akun Twitternya @EU_Commission, seperti dilaporkan Reuters, Senin (18/7).

“Presiden von der Leyen dan Komisaris (Energi) Kadri Simson akan berada di Azerbaijan besok untuk lebih memperkuat kerja sama,” tulis Komisi Eropa pada Minggu (17/7).

Sebelumnya, sebuah perusahaan utilitas Jerman, Energie Baden-Wuerttemberg AG (EnBW), dilaporkan telah menandatangani perjanjian jual beli jangka panjang LNG dengan eksportir asal Amerika Serikat (AS), Venture Global LNG, selama 20 tahun.

Perusahaan AS tersebut akan memasok EnBW 1,5 juta ton LNG per tahun mulai 2024. Selain EnBW, perusahaan utilitas Jerman lainnya, RWE AG juga telah meneken kontrak pembelian LNG dari eksportir Amerika lainnya. Untuk memfasilitasi impor ini, Jerman harus membangun infrastruktur impor LNG dalam satu tahun ke depan.

EU juga telah melobi Qatar untuk pasokan gas alamnya. Negara teluk ini merupakan salah satu eksportir gas alam cair (LNG) terbesar di dunia. Namun kedua belah pihak belum menemui kata sepakat lantaran Qatar ingin kontrak jangka panjang, sebaliknya UE menginginkan durasi yang lebih singkat.

Pasalnya, kontrak jangka panjang akan berpotensi menghambat upaya transisi energi blok ekonomi terbesar dunia itu. “Qatar salah satu eksportir LNG top dunia menuntut negara UE menandatangani kontrak jangka panjang,” kata sumber yang mengetahui masalah ini seperti dikutip Bloomberg.

Sumber tersebut mengatakan bahwa UE menginginkan kontrak yang lebih pendek untuk mencapai target penurunan emisi karbonnya sekaligus mengurangi ketergantungan dari bahan bakar fosil dan pasokan energi Rusia.

“Dengan kontrak jangka panjang berarti UE harus terus mengimpor bahan bakar fosil yang bertentangan dengan tujuan penurunan emisi karbon,” kata sumber tersebut.

Kontrak yang diminta Qatar berbeda dengan kontrak jangka panjang yang diteken EnBW dengan eksportir Amerika. Meski berjangka waktu 20 tahun, pembelian LNG dapat dialihkan atau bahkan dibatalkan dengan biaya kompensasi yang lebih murah. Termin ini berguna jika suatu saat permintaan LNG Jerman turun seiring transisi energi.

Sebaliknya Qatar biasanya tidak mengizinkan pengalihan pembelian tanpa pembayaran penuh kargo yang dikirim. Menteri energi Qatar, Saad al-Kaabi mengatakan bahwa ada banyak perselisihan dalam negosiasi antara negaranya dan Jerman.

Sementara itu pada Januari 2022, Perdana Menteri Australia (ketika itu), Scott Morrison, menawarkan LNG kepada Eropa untuk menggantikan pasokan Rusia. Australia juga termasuk dalam jajaran negara pengekspor gas alam terbesar di dunia dengan volume ekspor mencapai 80 juta ton pada 2021.

Namun analis pasar energi mengatakan bahwa Australia tidak bisa mengekspor ke Eropa tanpa melanggar kontrak yang ada saat ini. Pasalnya 75% pasokan LNG Australia sudah terikat kontrak jangka panjang. Di sisi lain, daerah pantai timur Australia juga tengah mengalami krisis gas.

“Jadi LNG yang bisa Australia ekspor harus berasal dari sistem dan produsen yang sudah kesulitan memenuhi pasokan. Ekspor bisa saja dilakukan jika energi terbarukan sudah menggantikan gas dalam pembangkitan listrik, tapi menurut Rystad Energy, itu tidak akan terjadi hingga akhir dekade ini,” kata analis Australian Strategic Policy Institute.