Riset: 8 Perusahaan Batu Bara Punya Dana Cukup untuk Transisi Energi

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.
Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Senin (20/6/2022).
Penulis: Happy Fajrian
24/8/2022, 08.25 WIB

Hasil riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa delapan perusahaan batu bara di Indonesia memiliki dana yang cukup untuk berinvestasi ke transisi energi menuju energi hijau.

Analis keuangan IEEFA GheePeh dalam laporan terbarunya menganalisis delapan perusahaan batu bara di Indonesia yang telah mendapat keuntungan besar sepanjang 2021 hingga kuartal 1 2022 didorong harga batu bara yang mencapai rekor tertinggi.

Keuntungan dan arus kas kuartal I 2022 perusahaan batu bara Indonesia telah mencapai titik tertinggi sebesar US$ 6,8 miliar, yang dapat mempercepat proses perubahan radikal untuk meninggalkan investasi tambang batu bara baru dan memenuhi komitmen iklim jangka panjang.

“Ini saat yang tepat untuk mempertimbangkan pembelanjaan US$ 6,8 miliar tersebut secara berkeadilan dan berkelanjutan. Terlebih lagi dengan Indonesia sebagai pemegang persidensi G20,” kata Peh dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (24/8).

Dia menambahkan bahwa saldo kas sebesar US$ 6,8 miliar, setara Rp 100,9 triliun dengan kurs saat ini, dari delapan perusahaan batu bara RI pada akhir kuartal I 2022 dapat membantu pembayaran utang dan mempercepat transisi energi menuju energi bersih.

Delapan perusahaan batu bara tersebut yaitu PT ABM Investama Tbk (ABMM), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), Geo Energy Resources Ltd., PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).

Peh mengatakan bahwa jika terjadi penyelesaian dari konflik Rusia Ukraina yang tengah berlangsung, ditambah dengan komitmen Uni Eropa untuk menjalankan dekarbonisasi, harga batu bara sangat mungkin akan kembali normal dari harga saat ini untuk jangka panjang ke depan.

“Perusahaan batu bara sepatutnya tidak melewatkan kesempatan ini untuk mendiversifikasi usaha mereka dari batu bara sebelum biaya untuk bertransisi semakin meningkat,” kata Peh.

Dengan banyaknya negara yang berhenti membeli batu bara dari Rusia di tengah konflik Rusia-Ukraina, aksi tersebut secara efektif telah menurunkan 18% dari suplai batu bara global.

Harga batu bara global akan mungkin tetap tinggi dikarenakan perubahan jalur perdagangan yang diakibatkan oleh konflik Rusia-Ukraina. Sementara itu, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan akan mulai menurunkan impor batu bara dari Rusia pada kuartal II-2022 dan mengganti supai dari negara yang lebih jauh, termasuk Indonesia dan Australia.

“Jalur pengiriman batu bara menuju Asia utara akan menjadi semakin jauh dengan pelayaran dari Australia dan Indonesia dibanding dari Rusia. India yang membeli tambahan batu bara dari Rusia juga akan mengakibatkan hambatan dalam jalur pelayaran karena jaraknya yang lebih jauh dibanding Indonesia,” Peh menambahkan.

Saldo Kas yang Kuat dan Belanja Modal yang Rendah

Menurut temuan IEEFA, pada kuartal I 2022, total volume penjualan batu bara dari delapan perusahaan tersebut sama dengan 25% dari tingkat penjualan pada 2021. Meski pelarangan ekspor telah menahan jumlah penjualan, hal ini juga berarti perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan peningkatan kapasitas produksi yang berarti.

Delapan perusahaan tersebut juga cukup kuat secara finansial, dengan keuntungan dan arus kas operasi yang tinggi di kuartal I 2022.

“Selain dari utang yang rendah dan saldo kas yang tinggi, rencana belanja modal mereka juga tampak rendah tanpa ada penambahan kapasitas produksi yang berarti. Indika Energy, sebuah grup pertambangan batu bara juga telah mengajukan rencana untuk transisi ke energi terbarukan,” kata Peh.

Perusahaan tersebut telah menurunkan tingkat utang mereka secara bertahap sejak 2020. Total posisi utang menurun dari US$ 4,1 miliar pada 2021 menjadi US$ 3,7 miliar di kuartal I 2022. Dua perusahaan, Bayan Resources dan Geo Energy Resources telah menurunkan tingkat utang mereka ke nol.

“Strategi yang konservatif ini sangat masuk akal mengingat semakin meningkatnya jumlah institusi keuangan yang telah mundur dari pembiayaan proyek batu bara baru,” tambah Peh.

Delapan perusahaan itu hanya menginvestasikan 15% dari total saldo kas mereka dalam belanja modal 2020, dan kurang dari 10% pada 2021. Pada 2021, total belanja modal dari seluruh perusahaan tersebut sebesar US$ 624 juta. Sebagian besar dialokasikan untuk infrastruktur seperti jalan dan peralatan.

Berdasarkan belanja modal mereka tahun 2021, IEEFA menemukan bahwa sebagian besar dari perusahaan-perusahaan tersebut berinvestasi dalam infrastruktur dan jenis usaha lainnya, dengan dua pengecualian yaitu ABM Investama dan PTBA, yang berfokus pada pengembangan proyek baru yang berkaitan dengan batu bara.

“Kami menemukan bahwa ABM Investama tengah meningkatkan volume produksi batu bara mereka dan berencana mengakuisisi tambang batu bara baru, sementara PTBA tengah mengembangkan hilirisasi DME (dimethyl ether) yang bersumber dari batu bara,” kata Peh. “Secara keuangan, justifikasi untuk proyek DME tersebut cukup lemah.”

Di sisi lain, Indika Energy telah melepas kepemilikannya dari usaha kontraktor penambangan batu bara. Perusahaan tersebut tengah menargetkan belanja modal sebesar US$ 32 juta untuk proyek penambangan emas, dan memegang kepemilikan sebesar 51% (US$ 21 juta) dalam perusahaan listrik tenaga suryanya, Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS), joint venture dengan Fourth Partner Energy.

“Selagi perusahaan batu bara Indonesia tengah mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga, kami merekomendasikan untuk melakukan divestasi lebih lanjut dari batu bara dan mempercepat proses transisi dengan menggunakan momen harga tinggi, keuntungan besar, dan arus kas tinggi tahun 2021 dan Q1-2022.”

Sejak 11 April, pemerintah Indonesia juga telah menggulirkan penerapan royalti batu bara progresif berdasarkan harga acuan batu bara thermal Indonesia, yang dikenal sebagai Harga Batu bara Acuan (HBA).

Menurut Kementerian ESDM, nilai royalti baru yang lebih tinggi yaitu sebesar 28% akan berlaku ketika harga batu bara acuan mencapai lebih dari US$ 100 per ton. Rata-rata HBA untuk Januari-Mei 2022 adalah US$ 222 per ton, sehingga royalti yang lebih tinggi tersebut akan diterapkan.

“Skema royalti baru dengan nilai 14-28%, lebih tinggi dibandingkan nilai sebelumnya sebesar 13,5%, akan sangat mungkin menghambat rencana penambahan kapasitas baru,” kata Peh. “Hal tersebut, dan dengan total AS$ 6,8 miliar saldo kas yang mereka miliki menjadi sebuah kesempatan emas bagi perusahaan-perusahaan batu bara Indonesia untuk mempercepat transisi mereka.”