Kementerian BUMN mendorong penekanan konsumsi BBM melalui program produksi BBM jenis baru berupa bahan bakar nabati (BBN) Biodiesel B40 dan Bioetanol. Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan langkah ini sebagai upaya untuk subtitusi sekaligus menekan pengeluaran negara untuk impor BBM.
Kementerian BUMN mendorong PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk meningkatkan produksi etanol dari sejumlah bahan baku seperti singkong, jagung, ubi jalar, tebu dan fermentasi gula.
"Sebagian untuk gula, tetapi juga untuk etanol. Sekarng banyak negara seperti Brazil, ataupun India sudah mendorong etanol sebagai subsitusi untuk BBM. Karena etanol itu RON-nya sampai 130-an," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI pada Rabu (24/8).
Pada kesempatan tersebut, Erick mengatakan sejumlah negara Asia seperti Thailand dan India sudah selangkah lebih maju dalam pemanfaatan etanol menjadi bahan campuran BBM. Negeri Gajah Putih Thailand sudah memproduksi Bioetanol 12%, sementara India 10%.
Selain untuk mengurangi besaran impor BBM dari luar negeri, bahan bakar minyak nabati bioetanol bisa menjadi sumber devisa negara jika diimpor ke pasar internasional.
"Kalau kita bisa mengonsolidasikan ini, kita bisa kirim ke luar negeri. Dan saat kita impor BBM dengan kualitas yang kurang bagus, tapi kita campur dengan etanol, itu jadi BBM yang bisa dipergunakan untuk apapun," jelas Erick.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor minyak mentah mencapai US$ 4,74 miliar atau Rp 70,15 triliun dengan kurs Rp 14.800 pada paruh pertama tahun ini atau 24,33% dari total impor migas. Nilai ini naik 28,68% dibanding paruh pertama tahun sebelumnya yang hanya US$ 3,68 miliar.
Walau begitu, Erick menjelaskan, kendati pemerintah telah mewujudkan konsolidasi kebijakan penekanan komsumsi BBM melalui kendaraan listrik dan bahan bakar minyak nabati, pemerintah dirasa belum mampu untuk menutup kran impor BBM.
"Karena ada kenaikan dari harga petrokimia. Karena dia menjadi pertumbuhanan kebutuhan BBM dan bahan baku dari petrokimia itu salah satunya dari minyak mentah yang diturunkan menjadi plastik, baju dan lain-lain," ujarnya. "Saat ini kita masih berpersepsi penggunaan BBM hanya untuk kendaraan-kendaraan yang kita pakai,"
Sebelumnya, Kementerian ESDM akan segera meluncurkan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol dengan komposisi bauran 2,5% tetes tebu dan 97,5% bensin. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, mengatakan campuran tetes tebu bisa meningkatkan kadar oktan atau kualitas bensin.
"(Tahun ini) tinggal nyampur doang, kajiannya sudah. Kalau Pertamina sudah siap dari tangkinya, sudah bisa jalan," kata Dadan di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa (2/8).
Dadan mengaku pengembangan bioetanol lebih sulit daripada pengembangan biodiesel yang saat ini sudah mencapai B40. Alasan utamanya yakni belum tersedianya suplai bahan baku tetes tebu untuk menjamin keberlanjutan pasokan.
Tetes tebu, kata Dadan, saat ini masih digunakan sebagai bahan baku di industri pemanis dan menjadi komoditas ekspor. "Bahan bakunya tidak bisa dijamin karena jumlahnya gak banyak. Dia juga dibutuhkan di industri lain dan jadi komoditas ekspor juga. Kalau dipakai berlebih, bakal mengganggu untuk keperluan yang lain," ujarnya.
Walau begitu, pihaknya tetap mengupayakan agar pemanfaatan bioetanol bisa diwujudkan. Dadan mengatakan saat ini Kementerian ESDM telah menjalin komunikasi dengan dua pabrik bioetanol di daerah Malang dan Mojokerto.
"Kita ingin supaya tidak hanya solar saja yang ada campurannya, tapi bensin juga ada. Semoga nanti keekonomiannya bisa masuk," harap Dadan.